Saturday, September 13, 2014

Mount Rinjani, My Country's Beauty ( Part 2 )



Untuk sejam pertama perjalanan terasa begitu sulit dan melelahkan. Meskipun waktu baru saja menunjukkan pukul 9 pagi tetapi intensitas cahaya matahari begitu kuat. Kepala saya terasa sedikit pusing, perut juga terasa mual, irama detak jantung sepertinya masih belum menemukan ritme yang pas. Memasuki jam-jam berikutnya penyesuaian demi penyesuaian semakin didapati, sehingga kesulitan sedikit demi sedikit pun mulai bisa diatasi. Akhirnya lewat sebuah perjuangan keras saya berhasil mencapai pos 1, pos 2, pos 3 dan Plawangan Sembalun dengan waktu tempuh 9 jam dan merupakan orang ke 4 dalam rombongan yang tiba di tempat perkemahan. Perlu diketahui bahwa dari titik awal di Sembalun hingga Plawangan, kami melewati total 12 bukit dan di antaranya medan yang paling berat adalah bukit penyesalan, bukit di antara pos 3 dan Plawangan. Di ruas ini kami rata-rata menghabiskan waktu 3-4 jam.

titik awal di desa Sembalun

trekking dimulai

alam di sekitar pos 2

hamparan savanna

bukit 

sudut kemiringan trek pendakian


Perjalanan menuju puncak dilanjutkan pada pukul 02 dini hari setelah 3-4 jam beristirahat dan meluruskan kaki di dalam tenda. Tahap ini merupakan tahap penyiksaan, sekaligus babak penderitaan yang benar-benar baru dimulai. Bayangkan belum pulih juga tenaga kami setelah 9 jam bahkan ada yang hingga 12 jam kami bersusah payah mendaki dari titik awal di Sembalun, hingga mencapai Plawangan. Kini kami dihadapkan pada medan pasir yang begitu sulit, terlebih kami harus berjalan di kegelapan malam serta dalam balutan suhu udara yang dinginnya ekstrim. Hal ini sangat bertolak belakang dengan suhu udara di savanna yang baru saja kami alami beberapa jam yang lalu.

sunrise
Dalam perjalanan menuju puncak sebenarnya ada strategi yang perlu diingat oleh para pemula yaitu hanya fokus pada pencapaian puncak, selebihnya adalah bonus. Tetapi sering kali kita tergoda untuk memotret sana sini di sepanjang trek pendakian sehingga kita mengabaikan jarak tempuh dan waktu yang masih harus dilalui, jika puncak benar-benar adalah tujuan kita. Terlebih ketika matahari sudah mulai tinggi kita mudah menjadi haus, kehabisan persediaan air hingga mengalami dehidrasi adalah kendala yang sering terjadi.

medan pendakian menuju puncak

Puncak

menuju puncak


Ternyata hal ini juga menimpa beberapa di antara kami termasuk 3 orang dari 4 orang teman kami yang berhasil mencapai puncak. Bayangkan ketika persediaan air minum sudah habis, minumnya hanya seukuran tutup botol. Sekedar bisa membasahi bibir saja untuk mengatasi sesaat rasa haus yang sangat menyiksa. Padahal keringat yang keluar sudah berliter-liter banyaknya. Saya dan dua orang teman lain sudah berhasil mencapai ketinggian 3200dpl, namun karena kehabisan air minum akhirnya saya memutuskan untuk segera turun. Dua orang teman saya bertekad tetap melanjutkan perjalanan namun hanya mampu bertahan di ketinggian 3350dpl dan mengalami dehidrasi berat.

danau Segara Anak

danau dan kawah di kiri, jurang di kanan

Idealnya adalah fokus pada pencapaian puncak sebagai tujuan utama, sedangkan foto dan hal lainnya bisa dilakukan pada saat turun. Ketika saya turun menuju tempat perkemahan di Plawangan, suhu udara di atas sana sudah panas sekali sehingga stamina semakin menurun karena kekurangan cairan tubuh. Hanya tinggal beberapa puluh meter menuju kemah saya sudah kelelahan dan tergeletak di bawah pohon pinus yang tumbuhnya jarang-jarang dan tidak rimbun sama sekali. Beruntung tidak berapa lama kemudian pemandu rombongan kami, melewati sana dan segera menolong saya mencarikan air minum dari porter lain dengan harga Rp 60.000 untuk 2 botol minuman pocari. Saran buat anda, bawalah air minum yang cukup namun sebaiknya tidak sampai menjadi beban pendakian juga.





Tiba di kemah saya langsung minta dibuatkan teh manis panas. Tidak tanggung-tanggung 2 gelas kecil, dan 1 gelas besar langsung saya habiskan sekaligus. Makan siang yang sudah disiapkan oleh para porter, menjadi tidak selera lagi. Lima orang teman yang tadinya berada di depan saya, satu per satu mulai tiba kembali di perkemahan dengan permasalahan yang sama : dehidrasi berat. Meskipun demikian semua penyiksaan dan penderitaan termasuk kelelahan yang kami alami rasanya menjadi sangat tidak berarti lagi bila dibandingkan dengan kedahsyatan alam di atas Rinjani, dengan keelokan danau Segara Anak yang bisa kami nikmati dari ketinggian di atas 3000m dpl. Bahkan Gunung Agung di Pulau Bali pun bisa dilihat dengan kasat mata. Ada semacam kegelisahan, kegembiraan, penderitaan, ada pula kebanggaan serta rasa syukur yang amat dalam. Semua bercampur aduk menjadi satu. Saya pribadi seakan tidak percaya bahwa saya mampu berdiri di pinggir kaldera sebuah gunung yang agung dan maha dahsyat dengan keindahan danaunya pada ketinggian 3200m dpl. Dan saya sadar betul ini semata-mata kemurahan Tuhan yang memampukan saya melakukan semua ini.


No comments:

Post a Comment