Monday, December 1, 2014

Tibet - Part 1





Tibet bagi sebagian orang sepertinya adalah tempat yang sulit untuk dijangkau. Kita sering mendengar, banyak orang mengambarkan Tibet itu adalah atap dunia, sedangkan orang Tibet sendiri menyebut tanah kelahiran mereka itu bagaikan surga. Atap dunia tentu adalah sebuah arti kiasan yang ingin menunjukkan betapa tingginya tempat ini. Sedangkan surga itu barangkali konotasinya lebih ke sebuah kedamaian batin dan keindahan alam sekitarnya. Lalu bagi kita orang yang berasal dari luar, benarkah merasakan demikian ? Berikut ini ada beberapa foto hasil pemotretan saya selama berada di sana. 



















Bagaimana perasaan anda setelah melihat foto-foto di atas? Pemberitaan maupun foto tentang Tibet selama ini tak bisa dipungkiri memang sangat menawan dan menantang untuk segera dijelajahi. Namun untuk memulai perjalanan menuju Tibet tidaklah mudah. Selain peraturan perizinan yang terkesan berubah-ubah setiap tahun, langkah pertama yang harus disiapkan menurut saya bukanlah uang melainkan keberanian. Keberanian untuk mengambil resiko.

Bukan Perjalanan Biasa  
Terbukti banyak orang kaya raya yang tidak berani melakukan perjalanan ke Tibet. Mengapa? karena kondisi badan setiap orang berbeda-beda. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi dengan diri kita pada saat tubuh kita bereaksi menghadapi kondisi alam dengan cadangan oksigen yang begitu tipis bahkan bisa dikatakan paling tipis di dunia. Sebagai pembanding kandungan oksigen di udara Tibet, hanya 1/5 Jakarta. Ini tentu menyangkut resiko kematian dan memang sudah terbukti, bahwa tidak sedikit orang yang pernah menghadapi ataupun mengalami hal buruk itu. Jadi sangat masuk akal dan tidak berlebihan apabila seseorang memutuskan untuk tidak mengambil resiko ini, walaupun pemandangan di Tibet itu sungguh fantastik. Perjalanan saya sendiri kali ini juga mengalami sedikit kendala di Everest Base Camp, namun saya sangat bersyukur semuanya bisa diatasi dengan baik, dan cerita tentang perjalanan saya ke Tibet kali ini rasanya tidak lengkap jika tidak dimulai dari tahun 2012.


Gagal Berangkat Di Tahun 2012
Suatu ketika di awal tahun 2012, untuk pertama kali saya datang ke Central Park. Hujan turun sangat lebat sore itu, saya sedikit cemas apakah teman-teman saya yang berkantor di daerah Sudirman akan datang, mengingat setiap kali hujan turun jalanan di Jakarta menjadi macet tak karuan. Setelah saya menunggu cukup lama, akhirnya mereka muncul juga. Ayu dan Prita, saya masih ingat satu di antaranya dalam keadaan flu berat. Kasihan, sudah sakit tetapi masih tetap datang meskipun hujan sangat lebat. Ditambah dengan Ali dan saya, kami berempat duduk di sebuah restoran paling pojok di lantai bawah mall itu. Ini merupakan pertemuan kami yang kedua tentang rencana perjalanan kami ke Tibet.

Pada pertemuan yang kedua ini semua perencanaan sudah hampir rampung. Pemilik hostel yang berada di Lhasa bersedia mengurus Tibet Permit, salah satu izin yang mutlak harus diperoleh untuk masuk ke Tibet selain Visa China tentunya. Mereka juga akan membantu kami mencarikan seorang pemandu selama berada di Tibet. Karena sesuai peraturannya untuk masuk ke tempat-tempat wisata ataupun kuil-kuil di Tibet, kita wajib ditemani guide lokal yang sudah mengantongi izin. Hostel ini juga mengirimkan kami daftar harga beberapa jenis kamar termasuk dormitory yang mereka miliki, serta biaya penyewaan mobil untuk obyek-obyek di luar Lhasa. Rasanya semua perencanaan sudah mantap, kami tetapkan tanggal 12 Mei 2012 berangkat dari Jakarta. Tinggal mencarikan tiket yang murah menuju Chengdu.

Hal tak diduga-duga muncul, Prita mendadak pindah kerja karena dia mendapat penawaran yang jauh lebih baik dari pekerjaan sebelumnya. Di pihak Tibet juga terjadi perubahan, mendadak pemerintah China mengeluarkan peraturan baru bahwa untuk masuk ke Tibet harus secara berkelompok dan minimal harus berenam dengan kewarganegaraan yang sama. Hancur sudah semua perencanaan awal menuju Tibet di tahun itu. Pada akhirnya semua upaya yang dilakukan selama berminggu-minggu terasa sia-sia. Masih untung saja tiket pesawat belum issued.

Lalu, pada tahun 2013 semua dari kami punya kesibukan masing-masing. Tidak ada lagi yang mengungkit soal Tibet. Namun impian saya ke Tibet tidak pernah sirna dan begitu mendengar teman saya mengkoordinasi sebuah Trip ke Tibet dan Nepal pada bulan oktober 2014 yang lalu, tanpa ragu saya segera menyatakan bergabung. Semula kami hanya berdelapan, namun terus bertambah hingga akhirnya yang berangkat menjadi 16 orang. Tentu tidak dengan ala backpacker kali ini, tetapi semua urusan diserahkan ke pihak travel agent di Chengdu dan biayanya juga jauh di atas perhitungan ala backpacker yang pernah kami rencanakan dengan pihak hostel di Lhasa pada tahun 2012


Perjalanan Panjang Dimulai
Pada perjalanan kali ini agak unik, saat keberangkatan saja kami dibagi menjadi 3 kelompok. Yang berangkat pada tanggal 22 Oktober ada 7 orang, 4 orang ke Xian, 3 orang ke Chengdu. Lalu sisa 9 orang lagi berangkat dari Jakarta pada tanggal 24 pagi. 4 orang yang explore ke Xian tiba di Chengdu pada tanggal 24 sore dengan kereta. Sedangkan kami bertiga yang tiba di Chengdu duluan, mencoba explore beberapa ancient street dan kulinernya. Seluruh peserta baru berhasil berkumpul di hotel yang sama pada pukul 23.00 malam, padahal jadwal keberangkatan menuju Lhasa adalah pukul 8.00 keesokan paginya.






Idealnya kami harus banyak beristirahat dan menjaga stamina, namun malam itu benar-benar susah tidur. Mungkin karena saking bersemangat dan tidak sabaran menunggu penerbangan besok, yang konon lewat jendela kabin, kami bisa menyaksikan view yang sangat fantastik beberapa saat sebelum pesawat mendarat. Akhirnya kami mengobrol hingga pukul 3 pagi, dan begitu bangun pada pukul 5.30 saya langsung mandi. Mungkin di situlah letak permasalahannya, kesehatan saya sedikit terganggu, bahkan berdampak panjang hingga ke Everest Base Camp.

Berangkat dalam kelompok besar memang agak repot pada saat check in maupun pada saat security check di bandara. Karena nama kami semuanya tercantum di dalam satu lembar permit yang sama, sehingga pada saat check in maupun security check, berbaris pun harus sesuai dengan nomor urut yang tercantum di atas permit itu. Keributan terjadi pada saat saya menemani seorang teman yang bagasinya harus dibuka untuk diperiksa, pada saat kembali ke baris antrian, penumpang lain yang di belakang banyak yang protes dan marah- marah, mereka mengira kami menyelak.



Banyak waktu terbuang saat check in kelompok dan juga pada saat security check. Padahal waktu boarding sudah sangat mepet, saya agak cemas sebenarnya namun bersyukur akhirnya kami diselamatkan oleh keterlambatan 30 menit pesawat yang akan menerbangkan kami menuju Lhasa.


Beberapa saat sebelum pendaratan, pemandangan tak lazim memenuhi seluruh daratan di bawah. Umumnya sebelum pendaratan view yang sering kita dapati berupa pantai, hutan, pulau, ataupun bangunan. Tetapi untuk kali ini di Tibet pemandangannya sangat spesial, seluruh daratan berupa barisan pegunungan berwarna coklat dengan salju putih yang menutupi beberapa bagian puncaknya. Saya belum pernah melihat view seperti ini sebelumnya. Luar biasa indahnya dan ini merupakan salah satu kelebihan jika kita datang dengan pesawat terbang walaupun masalah aklimatisasi perlu juga diperhitungkan.







4 comments:

  1. Covernya bagus banget (Jokhang Square). Juga foto2 penduduk Tibetnya .
    Superb.

    Selagi lutut masih kuat, selagi sehat kudu ke Tibet.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you Susan sudah menjadi pembaca setia blog ini. semoga bermanfaat.

      Delete
  2. ya ampunn adem banget ngelihat foto-fotonya, ternyata ribet juga yah mau ke Tibet, tapi begitu sampai di sana, terbayaarr pasti semua kelelahan sebelumnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you Meidiana, semoga catatan perjalanan ini menginspirasi dan bermanfaat. sekali lagi thanks.

      Delete