Thursday, December 31, 2015

Kathmandu, Nepal



5 bulan setelah kami kembali dari Nepal, gempa dahsyat berkekuatan 7,8 Mw melanda negeri ini dan beberapa wilayah di India Utara, China dan Bangladesh. Saya belum sempat menulis bagaimana pengalaman kami menyeberang dari Tibet menuju Nepal, dan sebuah insiden kecil di mana saya ditodong dengan senjata laras panjang oleh tentara China saat berada di perbatasan antara Tibet dan Nepal. Dalam situasi Nepal sedang berduka dan negaranya porak poranda sehabis tragedi gempa yang menelan korban lebih dari 7.000 jiwa ini, saya sempat berpikir apakah masih pantas saya menulis, menceritakan dan berbagi dengan anda tentang kegembiraan yang kami rasakan selama kami berada di Nepal.

Kini tragedi itu sudah 8 bulan berlalu, bagi warga Nepal yang kehilangan anggota keluarga pada saat kejadian mungkin ada yang sampai hari ini masih belum mampu bangkit dari kedukaan yang begitu dalam dan kehilangan yang mungkin seumur hidup tak akan mampu dilupakan, terlebih trauma dan kesepian yang masih terus menghantui anak-anak yang harus menerima kenyataan pahit bahwa hanya dalam sekejab status mereka telah berubah menjadi yatim piatu sepeninggal kedua orangtua mereka.

Hal yang sama tentu juga dirasakan oleh anggota keluarga dari para pendaki atau wisatawan berkebangsaan asing yang turut menjadi korban dalam tragedi ini. Namun sebagai orang yang beriman, tentu kita percaya bahwa semua kejadian di dunia ini masuk dalam rancangan Tuhan. Pasti ada hikmah yang bisa diperoleh dari kejadian ini. Kita hanya bisa menatap ke depan dan menyongsong masa depan yang lebih baik, karena yang sudah terjadi, sudah berlalu dan telah menjadi bagian dari sejarah.

Sebagian besar situs peninggalan sejarah di Nepal mengalami kerusakan parah bahkan ada beberapa bangunan konon hancur rata dengan tanah pada kejadian gempa ini. Mungkin masih ada beberapa bagian yang bisa dipugarkan, namun saya yakin hal ini tentu bukan pekerjaan yang mudah dan hasilnya belum tentu sempurna. Oleh sebab itu saya terdorong untuk menulis dan berbagi foto dari perjalanan ini, mungkin bagi anda yang belum pernah ke sana sebelumnya menjadi tahu bagaimana wujud bangunan aslinya serta keadaan di sekitarnya.

Turun dari EBC kami bermalam di Zhangmu, sebuah kota kecil yang berbatasan dengan Nepal. Udaranya dingin sekali, dan praktis selesai makan malam kami langsung kembali ke hotel untuk beristirahat karena keesokan paginya kami akan menyeberang ke Nepal melalui jalan darat, lewat border antara Tibet dan Nepal ini. Border ini dihubungkan sebuah jembatan beton di atas sungai Bothe Koshi.


Zhangmu, Tibet, China

Orang yang menggunakan border ini tidak banyak, selain rombongan kami hanya terlihat para pedagang Nepal yang selesai berbelanja barang dagangan mereka di Zhangmu. Meski demikian border ini tidak bisa dianggap remeh karena penjagaan cukup ketat. Setelah melewati keimigrasian, saya berjalan santai dengan carrier besar di punggung menuju sisi Nepal, melewati jembatan penyeberangan. Karena tertarik dengan keindahan sungai di bawah jembatan, saya berhenti sejenak di pinggir jembatan dan melihat ke bawah. Tiba-tiba sebuah senapang laras panjang sudah ditodongkan di punggung saya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Saya hanya diberi isyarat untuk terus jalan tanpa menoleh ke belakang.







Teman-teman saya yang berjalan di belakang saya semua sontak kaget dan ketakutan, malahan saya sendiri tidak merasakan apa-apa. Saya diperintahkan untuk jalan terus ya saya terus jalan saja tanpa merasakan shock. Mungkin hal ini dikarenakan kesadaran saya setelah kejadian di EBC sehari sebelumnya belum benar-benar pulih, sehingga reaksi saya kelihatannya seperti sedang menghadapi hal biasa. ( Baca : Tibet Part 3 http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2014/12/tibet-part-3.html )

Tiba di seberang, kami langsung mengurus Visa On Arrival di keimigrasian Nepal. Tidak sulit, hanya dengan membayar USD25/orang kami semua mendapatkan visa kunjungan dalam waktu kurang dari 10 menit. Jika di Zhangmu kendaraannya meski bukan mobil-mobil mewah tetapi terlihat sudah cukup modern dan bagus-bagus, di Kodari di sisi Nepal, begitu kami tiba kendaraan-kendaraan yang terlihat adalah mobil era 70an. Perbedaannya sangat-sangat drastis dan signifikan.









Keluar dari keimigrasian Nepal, kami sudah ditunggu oleh Mr. Binot yang akan mengantar kami menuju Kathmandu. Coba anda tebak mobil apa yang digunakan oleh Binot untuk menjemput kami? Semula saya mengira paling tidak mobilnya seperti mobil Elf yang biasa kita gunakan di Indonesia. Tetapi alangkah kagetnya kami saat melihat mobilnya ternyata adalah sebuah bus umum tua mirip Kopaja tanpa AC, kondisinya tidak lebih baik dari bus umum rongsokan semacam Metromini.



Meski demikian ternyata di Kodari ada sebuah resort yang cukup terkenal, The Last Resort. Kapan lagi kami akan berada di sini kalau bukan sekarang, akhirnya kami pun sepakat untuk mampir terlebih dahulu di resort ini untuk sekedar makan, dan beristirahat sejenak sambil menikmati pemandangan yang sangat indah di kedua sisi sungai Bothe Koshi.

Untuk mencapai The Last Resort kami harus menyeberangi jembatan gantung yang sangat tinggi dan panjang, yang menghubungkan tebing di kedua sisi sungai. Di atas jembatan gantung ini juga, teman saya Jo nekad melakukan aksi yang beresiko tinggi yaitu Bungy Jumping. Dan untuk aksi ini tentu menuntut nyali yang sangat besar dan kesehatan jantung yang prima. Sedangkan Stephanie melakukan Canyon Swing, sebuah aksi yang juga sangat beresiko. Buat saya pribadi, terus terang saya tidak punya nyali dan jantung sekuat itu. Bravo buat Jo dan Steph yang telah berhasil melakukannya.





Meninggalkan The last Resort, kami segera melanjutkan perjalanan kami menuju Kathmandu. Bus ini tanpa AC, namun kami terpaksa menutup kaca jendela karena debu tanah mengepul saat mobil melintasi jalan tanah yang belum diaspal. Jalanannya bukan hanya belum diaspal,  tetapi juga rusak parah dan sempit. Hal yang paling menegangkan yaitu ketika bus yang kami tumpangi, berpapasan dengan mobil yang datang dari arah berlawanan. Karena posisi kami seperti telur di ujung tanduk, kami berada persis di bibir jurang. Jika ada bagian tanah yang mengalami longsor sedikit saja, bus kami bisa terguling masuk ke dalam jurang.



Tiba di Kathmandu langit sudah mulai gelap. Setelah cek in hotel dan beristirahat sejenak, kami berjalan kaki menuju Thamel. Thamel adalah spot turis yang paling terkenal di Kathmandu. Di kawasan ini banyak toko-toko menjajakan souvenir khas Nepal, pakaian dan segala perlengkapan outdoor untuk mendaki dengan harga yang sangat murah. Tentu banyak juga restoran dan café yang mudah ditemukan di tempat ini.

Berikut adalah tempat-tempat yang berhasil kami jelajahi selama 2 hari 2 malam di Kathmandu.

Bhaktapur Old Town
Tempat ini adalah sebuah komplek bangunan tua bersejarah yang berada di bawah perlindungan UNESCO, atau umumnya kita sebut UNESCO World Heritage Site. Kota tua ini berjarak 13 km dari Kathmandu. Bhaktapur pernah menjadi ibu kota Nepal pada masa kejayaan kerajaan Malla hingga paruh kedua abad ke-15.
Situs bersejarah ini dikabarkan hancur rata dengan tanah pada tragedi gempa dahsyat yang menimpa Nepal pada tanggal 25 April yang lalu. Kehancuran bangunan bersejarah ini tentu sebuah kerugian yang tak ternilai bagi warisan budaya Nepal khususnya dan Dunia pada umumnya. Namun saya lebih memikirkan tiga orang gadis kecil yang saya motret saat berada di kuil-kuil itu. Bagaimana kabarnya mereka? Apakah mereka selamat dari tragedi itu dan masih hidup? Saya tidak tahu, dan hal ini hingga kini masih terus menggangu pikiran saya. Sedih.

Berikut ini adalah momen-momen yang berhasil saya abadikan ketika kami berada di sana. Mungkin semua ini hanya tinggal kenangan.


































Boudhanath Stupa
Stupa raksasa ini berada di kota Kathmandu. Stupa buddha khas Nepal ini berwarna putih dengan gambar mata, alis dan hidung Sang Buddha pada bagian menaranya yang dicat warna keemasan. Bangunan ini juga berada di bawah perlindungan UNESCO sebagai situs warisan budaya dunia.





Selain banyak umat Buddha yang datang dan beribadah di tempat ini, juga banyak turis mancanegara datang untuk sekedar melihat dari jarak dekat. Kami duduk santai sambil menikmati secangkir kopi dan kuliner khas Nepal di sebuah café di dalam kawasan itu. Dari atap café itu kami dapat menyaksikan umat Buddha memadati sekitar stupa dan secara berkelompok tidak berhentinya terus mengelilingi stupa ini. Ini cara mereka beribadah. 

Di sekeliling stupa ini, oleh pemerintah Nepal dibangun komplek pertokoan dan restoran. Sehingga perpaduan ritual keagamaan dan pariwisata membuat tempat ini menjadi sangat hidup dan ramai. Jika anda datang ke Kathmandu tetapi tidak mampir di tempat ini, bisa dikatakan anda sama saja belum ke Kathmandu.

Konon sumber pendapatan negara ini 80% berasal dari sektor pariwisata, sehingga tragedi gempa April lalu benar-benar sangat memukul dan membawa dampak ekonomi yang cukup serius bagi negara ini. Semoga kondisi ini bisa segera dipulihkan seperti sediakala.















Ini gapura menuju komplek stupa





Swayambhunath Temple
Swayambhunath berada di atas bukit, sebelah barat kota Kathmandu. Kawasan ini terasa lebih luas jika dibandingkan Boudhanath. Dan tempat ini terdiri dari beberapa bangunan, di antaranya ada stupa, kuil, museum dan monastery. Aliran buddha yang dianut oleh Nepal tampaknya sama, atau barangkali banyak dipengaruhi oleh Tibetan Buddhism. Karena setelah saya amati, hampir semua bhikkhu yang ditemukan baik di Boudhanath maupun Swayambhunath mengenakan jubah yang sama dengan para La Ma di Tibet. Hanya bedanya di Nepal saya melihat ada bhikkuni.
Komplek kuil ini juga mengalami kerusakan berat pada peristiwa gempa bulan April lalu. Saya tidak tahu apakah sudah dilakukan pemugaran dan dibukakan kembali untuk umum.

Dari kuil ini kita juga bisa menikmati keindahan alam sekitarnya dan melihat kota Kathmandu dari kejauhan.





















Thamel
Berjalan di tempat ini mirip berada di Pasar Baru, Jakarta. Thamel adalah tempat keramaian dan menjadi tempat yang paling favorit untuk dikunjungi setiap turis yang datang ke Kathmandu. Meskipun jalanannya sempit dan padat dengan toko-toko, café maupun restoran, namun justru suasana seperti inilah, yang dicari oleh setiap wisatawan yang datang kemari.













Berbagai jenis produk outdoor bermerk dengan harga miring bisa ditemukan di sini. Café dengan kuliner khas Nepal, toko souvenir, toko pakaian bertebaran bak jamur di musim hujan dan memadati setiap gang, yang berada dikawasan ini. Hati-hati jangan kalap saat berbelanja, lebih baik banyak melihat untuk mendapatkan yang terbaik. Dan satu lagi jangan lupa menawar.



 Nepali Set




 Nepali Set


 Momo, aslinya dari China


Uang Rupee, 1 Rupee = Rp 130

Pashupatinath Temple
Ini adalah kuil umat Hindu yang terkenal di kota Kathmandu, dan juga merupakan situs warisan budaya dunia di bawah UNESCO. Kuil ini letaknya berada persis di tepi Sungai Bagmati, dan ditepi sungai ini juga umat Hindu melakukan upacara pembakaran mayat sebelum akhirnya seluruh abunya dibuang ke dalam sungai.

Foto: Susana Juwono


 Foto: Susana Juwono


 Foto: Susana Juwono


 Foto: Susana Juwono


 Foto: Susana Juwono

Ini yang disebut Sadhu, orang suci hindu yang banyak ditemukan di kuil Pashupatinath.



Jika saya diberi kesempatan untuk kembali menjelajah Nepal, saya akan memilih untuk blusukan ke desa-desa dan tentunya juga keindahan alam, yang dimiliki oleh bangsa ini.


End.


Xiahe, " A Little Tibet " The Majestic Of Gansu Part-2
http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2015/11/xiahe-little-tibet-majestic-of-gansu.html

Ganjia Grasslands, The Majestic Of Gansu Part-1
http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2015/11/ganjia-grasslands-majestic-of-gansu.html

Danxia "Rainbow Mountain", The Majestic Of Gansu Part-3
http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2015/11/danxia-rainbow-mountain-majestic-of.html

Southwest Sumba & Treasure Part - 1

Southwest Sumba & Treasure Part - 2

Musim Gugur Di Nusa Penida

West Sumba - Nature & Culture

East Sumba - Land Of A Thousand Savannahs - Part 1