Thursday, June 18, 2015

Hongtudi - Dongchuan Red Land Of Yunnan



Pernahkah anda mendengar " cabe ijo tumis irisan daging " ? Apa yang ada di benak anda jika melihat menu seperti ini ? Apa bedanya dengan " daging tumis irisan cabe ijo " ? Ternyata kekeliruan ini mengawali perjalanan saya yang ke3 di propinsi Yunnan, China kali ini. Tiba di bandara Internasional Kunming sekitar pukul 3 sore, tidak ada bis yang melayani rute dari bandara menuju terminal antar kota di bagian utara Kunming atau Kunming northern bus station. Terpaksa saya naik Airport Express no 2 sebuah shuttle bus yang melayani rute stasiun kereta api Kunming, tiba di stasiun saya langsung pindah ke bis umum no 23 menuju terminal antar kota yang berada di utara Kunming.
Sejak 3 tahun yang lalu Kunming mengadakan pembenahan secara besar-besaran, semua terminal bis antar kota dipindahkan ke pinggiran kota Kunming dan bis-bis antar kota tidak lagi diizinkan untuk masuk ke pusat kota. Untuk soal terminal bis ini kita lebih baik cek benar-benar informasi yang akurat, karena terminal terbagi menjadi ; Terminal Utara, Selatan, Timur, Barat dan Barat laut dengan kota tujuan yang berbeda. Jadi pastikan anda tidak keliru jika ingin melanjutkan perjalanan anda ke kota lain atau desa-desa dengan moda transportasi bis.
Tiba di terminal utara waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, saya segera menuju loket dan membeli tiket untuk keberangkatan besok pagi. Untuk menuju Hongtudi ( baca : Hong Thu Ti ) masih banyak penumpang yang keliru dan membeli tiket menuju kota Dongchuan, karena mereka membaca informasi-informasi yang sudah lama dan tidak up to date. Sebenarnya sejak setahun yang lalu sudah ada bis yang melewati desa ini, sehingga tidak perlu lagi bersusah payah pergi menuju Dongchuan terlebih dahulu. Pertanyaannya bis mana yang melewati desa Hongtudi? Setelah bertanya kepada petugas loket, diketahui hanya bis yang melayani rute Kunming north - Fazhe yang akan melewati tempat ini dengan tarif 40 Yuan per penumpang, dan hanya 2 kali keberangkatan sehari yaitu pukul 07.50 dan 08.30 .

Selesai membeli tiket, saya langsung mencari-cari penginapan, banyak yang menawarkan penginapan murah tetapi rasanya kurang menyakinkan karena hanya lewat selembar brosur dan tidak melihat fisik bangunannya. Mengingat terminal ini berada di pinggiran kota, malam hari suasananya pasti sangat sepi maka saya tidak ingin mengambil resiko untuk menginap di tempat yang tidak jelas. Akhirnya saya memutuskan menginap di satu-satunya hotel yang berada di dalam kawasan terminal dengan tarif 108 Yuan per malam.

Dalam setiap perjalanan, tidak ada hal yang lebih penting daripada menjaga stamina. Salah satunya adalah makan, menjaga perut tidak kosong. Sebenarnya semenjak saya masih di dalam bis tadi, saya sudah sangat lapar. Namun berhubung ingin memastikan dulu pasti mendapatkan tiket, saya akhirnya mengabaikannya. setelah selesai mandi saya segera menuju restoran sederhana yang berada persis di sebelah hotel. Saya membaca menu-menu makanan yang tertulis di dinding, akhirnya pilihan saya jatuh pada "cabe ijo tumis irisan daging", saya langsung membayangkan sepiring nasi dengan irisan daging ditumis sedikit cabe ijo, hmm…. Pasti lezat rasanya, apalagi dalam keadaan sangat lapar. Ketika pelayannya meletakkan pesanan saya di atas meja seketika itu juga saya merasakan tak percaya dengan apa yang saya lihat. Ternyata masakannya benar-benar cabe ijo ditumis daging bukan daging tumis cabe ijo, jauh lebih banyak irisan cabenya daripada irisan dagingnya. Kembali ke kamar hotel, 20 menit kemudian perut saya langsung mulas dan bolak balik ke toilet. Untung selesai makan saya langsung kembali ke kamar bukan melanjutkan perjalanan dengan bis.



Bis berangkat pada pukul 08.00 pagi, 10 menit lebih telat dari jadwal semula. Saya mengingatkan pengemudi bahwa saya akan turun di Hongtudi, dan ternyata di dalam bis yang sama ada 3 penumpang lain yang juga ingin ke desa ini. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 5 jam untuk tiba di Huashitou, sebuah desa di mana tempat homestay yang akan saya tuju berada.
Di sepanjang perjalanan pemandangan di luar jendela lumayan bagus, namun saya tetap tidak bisa duduk tenang dan menikmatinya, bahkan bisa dikatakan saya mengalami stress berat dan rasanya saya ingin segera kabur dari situ. Saya merasa terjebak dan sangat terganggu oleh polusi suara di sekitar tempat saya duduk, suara kolaborasi antara video berantamnya Jacky Chen yang diputar di dalam bis, dan suara dari emak-emak Yunnan yang super berisik, keras, cempreng, yang tidak berhenti mengobrol dengan bahasa yang kedengarannya sangat aneh di telinga. 2 jam pertama saya benar-benar stress. Beruntung, mulut emak-emak ini akhirnya mencapai titik antiklimaks, capek juga dan mulai diam. Saya tiba di homestay siang itu sekitar pukul 13.00.

Hongtudi yang berarti tanah merah ini sebenarnya bukan nama asli desa ini. Oleh para photographer yang mengekspos untuk pertama kali menyebutnya " hongtudi " dan desa inipun lebih dikenal dengan sebutan ini, bahkan pemerintah daerah berencana mengadopsi nama ini dan menjadikannya nama resmi. Desa ini oleh media asing disebut dengan nama Dongchuan Red Land. Mengapa? Karena sebelum ini, untuk mencapai desa ini memang harus terlebih dahulu ke kota Dongchuan , sehingga orang lebih mengenal nama Dongchuan dan selalu menyematkan nama ini sebelum kata Hongtudi, misal "Dongchuan Hongtudi" atau "Dongchuan Red land".
Setelah menaruh backpack di kamar, saya sudah tidak sabar untuk segera meluncur ke tengah sawah. Ingin tiduran dan guling-gulingan di atas permadani indah yang tersusun rapi di atas tanah merah, yang merupakan jenis kontur tanah dan ciri khas desa ini. Sejauh mata memandang, rasanya hampir tidak menemukan adanya wilayah yang tidak ditutupi "permadani", sungguh fantastik. Walaupun perasaan saya sedikit was-was saat melewati pemukiman warga karena suara anjing yang terus menggonggong, namun hal ini tidak menyurutkan niat saya untuk menjelajah lebih jauh dan berinteraksi dengan para petani. 










































Desa ini menyuguhkan pemandangan yang sama sekali bukan desa, pemukiman penduduk berkelompok antara 10 hingga 20 rumah, tersebar di antara permadani-permadani alam yang berwarna warni. Antara satu pemukiman dengan pemukiman yang lain jaraknya lumayan jauh, namun tidak terpisahkan oleh hamparan permadani alami berwarna-warni yang tersusun sangat rapi, sambung menyambung dan unik.


Benar-benar alam yang super indah, saya hampir tidak percaya apa yang saya lihat ini adalah sebuah karya agung yang dihasilkan hanya lewat tangan-tangan para petani, dan ini dilakukan tanpa sengaja. Dengan kata lain para petani hanya menjalankan pola kerja mereka sehari-hari dengan sawah masing-masing tanpa terinspirasi oleh apapun, tidak terpikirkan juga oleh mereka bahwa satu hari kelak akan menjadi sebuah karya besar dan secara keseluruhan membawa impact yang super dahsyat bagi desa, rakyatnya maupun negara, seperti sekarang ini. 










































"satu hal yang perlu anda perhatikan yaitu tidak masuk ke ladang atau sawah milik warga tanpa izin, karena banyak jebakan berupa papan yang bertuliskan 'menginjak tanah sawah ini harus membayar 100Yuan' "

Berada di desa ini, saya merasakan seperti berada di atas sebuah lukisan raksasa. Para petani adalah kuasnya, tanah merah adalah canvas, lalu tanaman adalah cat, dan Tuhan sendirilah Sang pelukis ajaib itu. Indah sekali dan sangat takjub setiap orang yang melihatnya. Hanya sedikit sayang ternyata akhir Mei adalah waktunya petani mulai menabur benih jadi saya tidak mendapatkan view terbaiknya. Konon bulan Agustus hingga November warna ladang di sana akan jauh lebih dinamis, namun volume pengunjungnya juga lebih padat, sehingga tidak akan senyaman trip saya kali ini.

Kendala paling besar di desa ini adalah transportasi, tidak ada transportasi umum, tidak ada ojek motor seperti yang pernah saya carter ketika di desa Wuyuan setahun yang lalu. Sewa mobil dari homestay dengan tarif 260 Yuan, atau setara Rp 550.000 untuk 10 spot bukan per hari. Pagi-pagi pukul 5 kami diantar ke sebuah dataran tinggi untuk melihat sunrise, pada pukul 7 kami kembali ke homestay, lalu pukul 3 sore perjalanan kembali dilanjutkan untuk mengejar 9 spot yang lain hingga sunset sekitar pukul 19.30. Di desa ini langit akan benar-benar gelap sekitar pukul 20.30 malam.
Pada hari 1 dan 2, saya memilih untuk menjelajah desa ini dengan berjalan kaki menuju spot-spot yang dekat dengan penginapan. Hanya pada hari ke 3, saya sharing cost dengan seorang pemuda asal Guangzhou untuk spot-spot yang jauh dengan menggunakan jasa sewa mobil dari homestay, lumayan bisa menghemat 130 Yuan.

Secara keseluruhan semua tempat di desa ini, sangat menakjubkan namun spot yang paling stunning adalah Luoxiagou, Damakan, Jinxiuyuan, Qicaipo dan spot-spot yang ada di Huashitou. Lokasi-lokasi yang saya sebutkan ini merupakan surga bagi para penggemar fotografi. Tempat-tempat yang strategi akan dikuasai oleh rombongan fotografer selama berjam-jam, karena mereka umumnya rela menunggu sebuah momen yang tepat untuk sebuah jepretan yang eksklusif. Selama berada di desa ini, satu hal yang perlu anda perhatikan yaitu tidak masuk ke ladang atau sawah milik warga tanpa izin, karena banyak jebakan berupa papan yang bertuliskan "menginjak tanah sawah ini harus membayar 100Yuan". 


Luoxiagou (落霞沟)


Louxiagou (落霞沟)


Damakan(打马坎)


Jinxiuyuan(锦绣园)


Qicaipo(七彩坡)


Huashitou(花石头)


Huashitou(花石头)


Huashitou(花石头)

Kendala lain termasuk masalah makan, tidak ada warung, tidak ada restoran. Untung homestay bisa memasak untuk tamu-tamunya, namun saya memilih tidak memakan makanan daging jenis apapun yang ada di dalam kulkasnya, mengingat desa itu tidak memiliki pasar, jadi entah sudah berapa lama makanan mentah itu disimpannya di dalam lemari pendingin itu. Saya terpaksa meminta dimasak menu telur 3 kali sehari, telur masak tomat, telur masak kucai, telur ayam didadar, lalu dimakan bersama nasi putih atau mie. 


















Namun seiring dengan telah dibukanya jalur transportasi yang melalui desa ini, di sana sini sudah terlihat banyak pembangunan, seperti hotel, hostel maupun restoran. Saya yakin tidak lama lagi semua kendala ini pasti bisa segera teratasi.

Di Yunnan cuacanya sangat variatif. Desa yang saya datangin bulan Maret tahun lalu panasnya seperti berada di dalam oven, sinar mataharinya sangat terik. Sedangkan di desa ini cuacanya berubah-rubah, kadang panas kadang hujan seharian, dan suhunya bisa drop hingga belasan derajat terutama di pagi hari. Saya sebagai orang daerah tropis yang sok yakin bahwa di China sekarang sudah masuk Summer langsung kelabakan. Akhirnya saya terpaksa mengakali dengan memakai semua baju secara berlapis-lapis dan masuk meringkuk di bawah selimut yang tebal.
Saking terpencilnya tempat ini, satu-satunya makanan camilan yang bisa ditemukan di sini adalah kentang bakar. Kentang yang sudah selesai dibakar dibelah dua dan diolesi sambal. Dalam cuaca yang dingin serta tidak tersedia pilihan makanan yang lain, kentang bakar rasa sambal yang sederhana ini pun terasa seperti baked potato ala resto Italiano. Sambil menunggu bis yang akan melewati desa ini untuk kembali ke Kunming, saya menghabiskan 2 buah kentang dekat persimpangan jalan itu. Cuaca pagi itu dingin sekali dan langit masih berkabut dan gerimis. Berkesan.














End

Wae Rebo Village
http://johntravelonearth.blogspot.com/2015/06/wae-rebo-village-dropped-from-heaven.html

Padar Island
http://johntravelonearth.blogspot.com/2015/06/padar-island-most-beautiful-island-in.html

Flores Overland
http://johntravelonearth.blogspot.com/2015/06/flores-overland-from-ende-to-labuan-bajo.html

Komodo National Park - Part 1
http://johntravelonearth.blogspot.com/2015/06/komodo-national-park-around-part-1.html

Komodo National Park - Part 2
http://johntravelonearth.blogspot.com/2015/06/komodo-national-park-around-part-2.html

Avatar Mountain Part 1
http://johntravelonearth.blogspot.com/2015/01/avatar-mountain-zhangjiajie-forest_28.html

Nusa Penida Island
http://johntravelonearth.blogspot.com/2015/05/nusa-penida-island-hidden-paradise-in.html

Friday, June 5, 2015

Komodo National Park & Around - Part 2


Gili Laba
Tempat ini juga sangat indah. Namun jika dibandingkan dengan Pulau Padar, tentu alam sekitarnya tidak seluas dan sedahsyat Pulau Padar. Bisa dikatakan Gili Laba adalah spot masa lalu dan Pulau Padar adalah spot masa kini.











Namun jika anda memiliki waktu yang cukup, tentu tidak ada salahnya anda menyambangi ke duanya.
Pink Beach

Sebenarnya bukan pasirnya yang berwarna pink, tetapi yang membuat pantai ini terlihat  berwarna pink adalah perpaduan pasir putih dengan pecahan coral berwarna merah dalam jumlah yang banyak. Dalam kondisi pasir yang basah dan terkena pembiasan sinar matahari, secara spontan pantai ini terlihat berwarna pink.







Pink Beach ini bisa dinikmati dari bukit yang berada di kedua sisi pantai, namun perlu tetap waspada terhadap binatang komodo karena pantai ini berada persis di Pulau Komodo.

Di tempat ini juga wisatawan bisa snorkeling, namun perlu diingat arus di sini lumayan deras. Konon dulu di dunia ini hanya terdapat 2 pink beach, tetapi sekarang di Indonesia sendiri sudah ditemukan ada beberapa, jadi secara otomatis data tersebut sudah tidak akurat lagi.











Pulau Kelor
Ini Pulau Kelor yang berada di Nusa Tenggara Timur, bukan Pulau Kelor yang berada di kepulauan seribu, Jakarta. Pulau ini sebagaimana pulau lainnya di NTT yaitu berbukit dan berpasir putih. Meski ukurannya kecil namun kondisi alamnya yang masih asri membuat pulau ini layak untuk dikunjungi.

Walaupun jalur trekkingnya lebih sulit dan terjal, namun ketika berada di atas bukit segala upaya terasa tidak sia-sia. Pemandangannya sangat menakjubkan.















Bagi anda yang tidak berani dengan jalur trekking yang terjal, bisa mencoba snorkeling di sekitar pulau. Tentu anda jangan berharap keindahan alam bawah laut seperti di Raja Ampat. Tetapi sekedar menurunkan suhu panas badan karena teriknya matahari di kawasan ini, sambil berenang santai tentu bukanlah sebuah ide yang membosankan juga.






Pulau Kanawa
Pertama kali mendengar nama pulau ini, seketika langsung menghubungkan pikiran saya dengan negara sakura. Saya mengira ini adalah nama pulau yang berada di Jepang. Sekilas memang sangat mirip di antara nama-nama ini, Kanawa, Kanazawa, Okinawa dan banyak lagi nama Jepang lainnya yang berakhiran "nawa".

Pulau ini konon juga dikelola oleh orang asing. Kok bisa ? Saya sendiri tidak terlalu berminat membahas masalah ini karena kasus seperti ini sudah banyak, dan sepertinya pemerintah memang menutup sebelah mata. Namun Pulau ini sedikit tidak masih lebih bersahabat dibandingkan dengan pulau yang dikelola asing lainnya, karena kita diizinkan untuk naik ke atas bukit dan snorkeling tidak jauh dari dermaga tanpa harus membayar. 

Pulau ini sangat eksotik jika dilihat dari atas bukit. Bibir pantainya yang melengkung membentuk setengah bundaran, dengan gradasi warna air lautnya yang benar-benar sangat menawan. Di atas pulau ini tersedia cottage-cottage untuk disewakan. Anda bisa menghubungi management Pulau Kanawa lewat websitenya dan mereka memiliki jadwal kapal penjemputan di pelabuhan Labuan Bajo pada pukul 12 siang setiap hari.














Baik anda akan kembali ke kota asal pada keesokan pagi, atau melanjutkan perjalanan ke kota atau desa lain di Nusa Tenggrara Timur, tetap kita harus bermalam dulu di labuan Bajo, sebuah kota pelabuhan kecil di ujung barat pulau Flores. Jika kapal merapat di pelabuhan Labuan Bajo belum terlalu sore, saya menyarankan anda mampir dan menikmati sunset di Café Paradise dengan ditemani minuman dan iringan musik yang menyenangkan.