Friday, June 5, 2015

Flores Overland - From Ende To Labuan Bajo




Overland di Tanah Flores sebaiknya dimulai dari Ende dan berakhir di Labuan Bajo. Tiba di Labuan Bajo kita bisa bersantai-santai di atas kapal sambil menikmati pemandangan yang indah di sekitar kepulauan komodo. Seketika anda akan lupa seluruh kepenatan saat anda trekking di Kelimutu, sawah laba-laba di Ruteng dan kelelahan ketika anda harus berjuang untuk bisa tiba di desa Waerebo. Yang diingat sekarang barangkali hanyalah kenangan manis, dan anda pasti akan berulang kali membuka kamera, sambil menikmati kembali hasil jepretan di sepanjang perjalanan.
Well, pesawat baling-baling Wings Air yang kami tumpangi dari Denpasar mendarat dengan sempurna di Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende. Lamanya penerbangan membutuhkan waktu sekitar 2 jam 45 menit. Cuaca sangat cerah pada hari itu dan segalanya berjalan dengan baik sesuai rencana.







Pak Remi dan Kristo, dua driver yang akan menjemput kami, sudah menunggu di depan pintu kedatangan. Singkat cerita, dari bandara kami langsung mengejar waktu, melanjutkan perjalanan ke Desa Moni. Karena perjalanan ini akan ditempuh sekitar 3-4 jam, kami harus benar-benar bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya agar bisa tiba di sana sebelum gelap.

Sebenarnya desa ini bukan tujuan utama kami. Namun untuk trekking menuju danau tiga warna kelimutu kami harus bermalam dulu di Desa Moni karena desa ini merupakan, desa terdekat dengan Kelimutu dan memiliki sarana homestay. 










Kelimutu
Kelimutu adalah sebuah gunung berapi. Gunung kelimutu memiliki 3 buah danau vulkanik, dengan warna air yang berbeda-beda. Danau, yang letaknya jauh terpisah adalah danau Tiwu Ata Bupu. Sedangkan 2 danau yang letaknya bersebelahan adalah danau Tiwu Ko'o Fai Nuwa Muri dan Tiwu Ata Polo.

Untuk 2 danau yang disebut terakhir ini, warna air danaunya akan berubah-ubah sepanjang tahun. Ini salah satu keunikannya, dan belum diketahui secara pasti apa penyebab perubahan ini. Namun menurut keyakinan penduduk setempat, dipercaya bahwa ada roh-roh yang mendiami ke tiga danau tersebut. 












Gunung Kelimutu dan ketiga danau ini adalah bagian dari kekayaan dan keindahan yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Kelimutu. Untuk menyaksikannya kita harus trekking sekitar 20 menit menuju viewer point yang telah disediakan. 

Di atas viewer point, kami menunggu matahari terbit, dan menyaksikannya muncul perlahan-lahan dari kegelapan. Detik-detik seperti ini yang banyak ditunggu oleh para fotografer yang datang khusus menghunting momen, yang hanya berselang beberapa menit ini, namun harus bangun pukul 4 pagi supaya tiba di sana sebelum jam 5.













Dari desa Moni kami kembali ke Ende untuk makan siang, lalu perjalanan dilanjutkan ke Bajawa. Tidak jauh setelah meninggalkan Desa Moni, kiri kanan jalan banyak disuguhkan pemandangan sawah dengan padi yang sudah menguning. Memanfaatkan momen yang langka ini saya segera meminta driver untuk berhenti di pinggir jalan. Kami lalu turun dan bermain di sawah sambil berinteraksi dengan para petani yang sedang sibuk memanen padi. 









Kampung Bena
Malam itu kami menginap di Bajawa, sebelum keesokan paginya kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Bena. Dari bajawa menuju Kampung Bena, di sepanjang jalan kami dimanjakan oleh pemandangan yang indah, terutama view Gunung Inerie bisa dinikmati di sepanjang perjalanan.

Kampung Bena tergolong sangat unik dan langka, dan merupakan salah satu perkampungan megalitikum yang berada di Kabupaten Ngada, NTT. Di era moderenisasi seperti sekarang ini benar-benar sulit untuk dipercaya bahwa masih bisa ditemukan sebuah peradaban seperti ini. Kita seperti dibawa masuk ke ruang waktu, kembali ke beberapa abad sebelumnya. 















Kampung ini berada di atas bukit, dan masyarakat di sini masih menyakini keberadaan Yeta, dewa yang bertahta di pegunungan ini dan melindungi kampung mereka. 

Di kampung ini kami belajar arti sebuah kesetiaan, kesederhanaan dan rasa bersyukur.













Meninggalkan Kampung Bena, kami melanjutkan perjalanan menuju Borong, di kota kecil ini ternyata ada sebuah restoran Chinese Food, lengkap dengan roti dan backery. Makanannya lumayan lezat untuk ukuran kota kecil seperti ini. Nama restoran ini Bougenville.


Dalam sebuah perjalanan, terutama overland, banyak hal tidak terduga bisa terjadi. Saat menuju Desa Moni, jalan terputus karena longsor. Perbaikan jalan sedang dikebut namun jalan dengan sistem buka tutup hanya diberlakukan mulai pukul 12 siang. Sehingga untuk mengejar waktu ke Bajawa kami terpaksa harus berangkat lebih awal, supaya mobil kami bisa berada di antrian depan. Hal yang tidak terduga juga terjadi dalam perjalanan menuju Borong, yaitu mobil APV yang kami tumpangi, mengalami pecah ban. Untung mobil tidak terguling, sehingga akibatnya tidak sampai fatal dan masih bisa diminimalisir dengan hanya mengalami penundaan makan siang di Borong.






Mobil yang mengalami pecah ban, secara otomatis tidak lagi memiliki ban serap. Demi keselamatan di jalan, selesai makan siang saya bersikeras Pak Kristo harus mencari ban serap. Sambil menunggu mobil APV, mobil Elf yang dikemudikan Pak Remi saya instruksikan untuk segera meluncur ke Danau Ranamese, sehingga rombongan bisa menikmati danau yang indah tanpa harus menghabiskan waktu menunggu di dalam mobil.





Meninggalkan Danau Ranamese, hujan turun rintik-rintik, hanya sebentar namun langit tetap mendung. Saya sedikit khawatir tidak bisa mengejar waktu untuk tiba di Ruteng, di lokasi Sawah Laba-laba berada sebelum hari menjadi gelap, apalagi langit sangat mendung. Bersyukur ketika kami tiba di lokasi, cuaca sedikit lebih baik sehingga kami masih bersemangat untuk melakukan trekking sebentar untuk menyaksikan sawah yang berbentuk sarang laba-laba.
Entah ide dari mana sehingga pembagian sawah atau pemetakan lahan dilakukan dengan pola seperti ini, sangat unik dan mengagumkan. Saya yakin hanya ini satu-satunya di dunia, dan saya sangat salut dengan pencetus ide sawah laba-laba ini, karena jika kita disuruh mengambar di atas kertas mungkin gampang, tetapi ini langsung dilakukan di atas sawah yang berhektar-hektar luasnya. Tentu hal ini tidak mudah dilakukan apalagi ketika seseorang berdiri di tengah sawah, ia tidak dapat melihat keseluruhan pola ini. Sehingga saya berpikir apakah hal ini terjadi secara kebetulan atau memang seseorang sengaja merancang dari awal. 



Rasa penasaran saya sedikit terjawab setelah mendapatkan penjelasan dari warga Manggarai yang bertugas di Labuan Bajo, hotel tempat kami menginap, bahwa lahan itu adalah tanah adat yang mereka sebut Lingko, dan tanah adat itu dimiliki secara komunal dan untuk kebutuhan bersama. Pembagian dan pengaturan besarnya tanah dipusatkan di rumah induk adat bernama Mbaru Gendang, namun pemetakan lingko justru mengikuti pola rumah adat asal mula bernama Mbaru Niang, yang masih dipertahankan di Wae Rebo hingga saat ini. Jadi benar dugaan saya bahwa pola sarang laba-laba ini terjadi secara kebetulan, dalam arti bukan sarang laba-laba yang melatari inspirasi pembagian sawah ini.
Meninggalkan Ruteng, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Dintor. Dintor adalah desa tempat kami akan menginap semalam, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Wae Rebo. Dintor bukan desa terakhir sebelum jalan pegunungan menuju Wae Rebo. Desa yang lebih dekat adalah Desa Kombo, namun di tempat ini tidak ada sarana homestay, seperti di Dintor.
Baca kisah perjalanan kami tentang Wae Rebo di
http://johntravelonearth.blogspot.com/2015/06/wae-rebo-village-dropped-from-heaven.html

Bertolak dari Dintor menuju Labuan Bajo setelah selesai mandi dan makan siang. Meskipun cukup melelahkan perjalanan saat menuju dan kembali dari Wae Rebo, namun ini benar-benar perjalanan yang menyenangkan. Tidak ada kata sesal yang terucap dari setiap anggota, bahkan kalau mau jujur banyak pelajaran dan hikmat yang bisa dipetik dari kunjungan ini. Ditambah lagi saat kembali dari Dintor, di sepanjang jalan kami disuguhkan pemandangan sawah yang indah. Seketika itu pula kami lupa akan guncangan yang harus dialami saat mobil melintasi ruas jalan yang rusak parah itu.







Perjalanan menuju kota berikutnya Labuan Bajo membutuhkan waktu sekitar 5-6 jam. Namun kali ini terasa lebih santai karena tujuan berikutnya adalah check in hotel, makan malam dan istirahat. Agenda berikutnya adalah sailing trip menuju kepulauan Komodo selama 2 hari 1 malam. Trip ini memang luar biasa karena menggabungkan Flores Overland dengan Sailing Komodo. Setiap orang di sini dituntut memiliki fisik dan stamina yang benar-benar prima, karena sejumlah pulau yang menjadi target sailing trip ini anda wajib turun dan trekking. Kecuali anda memang yakin sama sekali tidak tertarik ketika melihat keindahan alam yang akan disuguhkan secara langsung di depan mata anda, bukan lewat berita atau selembar foto.


Baca tulisan lengkap tentang kepulauan komodo di http://johntravelonearth.blogspot.com/2015/06/komodo-national-park-around-part-1.html




End.







No comments:

Post a Comment