Wednesday, July 1, 2015

Ora Beach, Sawai Village, Kelinanti Hill - Moluccas 1




Saya tidak mempunyai kebiasaan untuk melakukan perjalanan di bulan Desember, terutama di akhir tahun atau malam pergantian tahun. Pertama karena pada perayaan malam Natal saya merasa lebih sakral jika mengikuti misa, di gereja kami sendiri, alasan kedua karena pada akhir tahun cuaca cenderung kurang bersahabat sehingga saya merasa lebih baik diam saja di rumah.
Namun pada bulan Desember lalu, teman-teman saya berhasil 'menculik' saya untuk melakukan perjalanan singkat ke Maluku, tentu setelah perayaan Natal. Meskipun sempat ragu karena intensitas hujan di Jakarta saat itu, meningkat drastis dan cukup signifikan. Tetapi sebagaimana pengalaman saya 2 kali ke Papua, bulan Oktober hingga Desember cuaca di Indonesia Timur justru menunjukkan keadaan yang sebaliknya dari Indonesia bagian barat. Keputusan pun segera diambil dan kami berangkat pada tanggal 27 Desember dini hari, menyusul teman-teman yang sudah terlebih dahulu berangkat menuju Banda  Neira.

Pada tanggal 26 Desember cuaca buruk sekali, hujan lebat turun non stop dari siang hingga tengah malam. Ketika berada di dalam ruang tunggu malam itu, keadaan di luar tidak menunjukkan adanya tanda-tanda hujan akan segera berhenti, dan saya pun segera mengambil kesimpulan bahwa penerbangan ini, kemungkinan besar akan mengalami penundaan. Tetapi sungguh di luar dugaan, lewat tengah malam tepat pukul 00.30 ada pengumuman untuk segera boarding dari maskapai, yang menggunakan salah satu jenis kain khas nusantara itu sebagai nama maskapainya.

Sarana dan pelayanan boarding di tengah hujan yang dilakukan oleh terminal 3, sangat tidak layak. Naik bis dan turun bis hingga transfer menuju tangga untuk naik ke dalam pesawat tidak difasilitasi payung, sehingga penumpang sampai mengalami dua kali kehujanan. Saya benar-benar tidak berani percaya bahwa hal ini terjadi di sebuah bandara Internasional, di ibukota pula. Apalagi saat kami tiba di Ambon, kami mendapatkan bahwa bagasi kami basah kuyup. Ini benar-benar pengalaman yang sangat buruk dan tidak pernah terbayangkan oleh kami sebelumnya.

pakaian yang basah

Dalam penerbangan menuju Ambon cuaca memang buruk sekali kala itu. Pesawat mengalami beberapa kali turbulence dan guncangan dahsyat. Pesawat juga sempat beberapa kali "drop" dari ketinggian menuju posisi yang lebih rendah. Seketika keadaan di dalam pesawat berubah menjadi sangat panik, semua penumpang larut dalam doa masing-masing. Situasi yang sangat menakutkan dan menegangkan, dan saya mengira itu adalah kesempatan terakhir saya untuk hidup.
Sangat bersyukur akhirnya kami tiba dengan selamat di Bandara Pattimura, Ambon sekitar pukul 6 pagi. Setelah mengambil bagasi, kami segera bertolak menuju Pelabuhan Tulehu. Jarak dari bandara menuju Tulehu memakan waktu sekitar 1 jam. Sedangkan kapal menuju pelabuhan Amahai di Pulau Seram akan diberangkatkan pada pukul 9, sehingga kami memanfaatkan sedikit waktu yang tersisa untuk sarapan dulu di sebuah warung di pinggir jalan. Makanan khas untuk sarapan di Ambon adalah nasi kuning, enak, lezat dengan lauk ikan tongkol bumbu pedas.


Cuaca hari itu cukup baik, ombaknya datar, langitnya cerah, sungguh perjalanan yang aman sebenarnya. Tetapi di dalam kapal, penumpang penuh sesak hingga lorong-lorong tangga. Spontan hati saya menjerit, ini overload, ini overload dan sangat berbahaya jika bertemu dengan cuaca buruk dan ombak yang ganas. Namun jangankan kita yang datang hanya sebagai pengunjung, masyarakat wilayah timur sendiri saja seakan sudah tidak berdaya. Ini adalah gambaran keseharian situasi transportasi laut yang harus mereka gumuli dan hadapi bersama.





Tiba di pelabuhan Amahai sekitar pukul 12.30. Kota di mana pelabuhan ini berada adalah Masohi, sebuah kota kabupaten yang belum terlalu berkembang. Driver dari Ora resort sudah menunggu kami di depan pelabuhan, kami pun segera meluncur menuju sebuah restoran untuk makan siang, sebelum kami melanjutkan perjalanan darat menuju Desa Saleman. Waktu tempuh dari Masohi menuju Desa Saleman sekitar 3 hingga 4 jam. Yang membuat perjalanan ini terasa lama adalah satu ruas jalan sepanjang 3 km yang kondisinya cukup parah, berbatu dan berlobang. Kondisi ini ditemukan tidak lama setelah kendaraan membelok, memasuki jalan kecil ke arah Desa saleman.






Tiba di dermaga Saleman, hari sudah agak sore. Kami segera meneruskan perjalanan menuju Ora Resort dengan perahu motor. Hanya sekitar 10 menit kami sudah tiba di Ora. Karena Desa Saleman, dan Ora Beach memang berada di teluk yang sama, jaraknya sangat dekat. Jadi tidak heran jika beberapa wisatawan asal Spanyol yang saya ajak untuk ngobrol ketika sedang berada di Tebing Batu, mereka mengatakan bahwa mereka lebih memilih untuk menginap di homestay atau guesthouse di Saleman, dengan pertimbangan pengeluaran yang jauh lebih murah.




Ora Beach Resort
Sejak detik pertama saya menginjakkan kaki di dermaga resort ini, perasaan saya biasa-biasa saja. Saya tidak memiliki sensibilitas yang tinggi sebagaimana banyak ungkapan yang telah diunggah oleh sebagian orang yang sudah pernah datang ke tempat ini sebelumnya, seperti "Wow paradise", "wow I have just arrived at paradise", "Indonesian Hawai", "wow, Indonesia small Maldives" dan lain sebagainya. Mungkin sore hari itu saya terlalu lelah, saya berpikir dalam hati. Sehingga saya tidak merasakan kondisi yang dilukiskan di atas, dan saya sendiri memang berharap seperti itu bahwa sayalah yang lelah, bukan alamnya yang kurang spektakuler.

Tetapi beberapa teman saya ternyata juga memiliki kesimpulan yang sama dengan apa yang saya rasakan saat itu, bahkan saya berani pastikan jika anda adalah seorang traveller sejati, anda tentu akan mengatakan sesungguhnya apa yang anda rasakan, bukan mengarang atau melatah. Singkat cerita kami agak kecewa. Ditambah lagi begitu kami masuk ke dalam cottage/kamar laut, kami mendapati jendela berukuran setinggi pintu yang menghadap teras tidak terpasang kaca. Pintu yang menghadap teras juga tidak bisa ditutup, sehingga siapa saja bisa bebas keluar masuk kamar lewat pintu maupun jendela. Jika ada orang yang berniat jahat dengan mudah dia bisa naik ke teras dari sisi laut dan masuk ke dalam kamar tanpa kesulitan apapun.

Yang lebih parah lagi adalah sarung bantal dan sprei berbau apek. Pada malam ke 2 kami pindah ke kamar darat karena cottage itu akan diisi oleh teman yang menyusul dari Banda Neira. Di kamar darat keadaannya ternyata lebih parah lagi. Shower kamar mandi rusak, bidet atau semprotan cebok juga rusak, terakhir air untuk flash closet juga rusak. Kami benar-benar kecewa.

Tingginya okupansi di resort ini sepertinya tidak diikuti, dengan pemeliharaan rutin yang baik. Bagi saya, kondisi seperti ini jauh dari kelayakan sebuah resort, dan dengan sistem pengelolaan seperti ini belum pantas disebut resort. Apalagi pelayanan di ruang makan sangat-sangat tidak ramah. Pelayan restoran yang berjumlah hanya 2 orang itu tidak terdidik dengan baik, bad attitude. Makanan yang habis, tidak secara otomatis diisi kembali tetapi harus diminta berulang-ulang. Kami belum selesai makan, piring-piring sudah buru-buru diangkat tanpa bertanya terlebih dahulu, dan begitu kita baru beranjak dari tempat duduk, kursinya segera diangkat dan disandarkan ke meja. Tamu masih duduk dan sedang makan, mereka sudah menyapu lantai. Benar-benar kampungan. Setelah saya amati selama 2 hari ternyata para pelayan restoran tidak menginap di sana, mereka hanya datang pada saat jam makan dan ingin cepat-cepat pulang. Keadaan seperti ini justru sangat bertolak belakang dengan pelayanan di losmen tempat kami menginap di Masohi.

Secara general, pemandangan di resort ini lumayan bagus terutama di pagi hari yang tenang dan pada saat sunset. Tetapi sangat berlebihan jika kita mendramatisir dengan sebutan " Paradise ", "Indonesia Maldives" dan lain-lain. Pertama karena mutu pelayanan dan fasilitas resort yang tidak memadai, hal ke dua menurut saya adalah pemandangannya sangat terbatas dan tidak sebanding dengan perjalanan selama belasan jam dari Jakarta, dan yang didapatkan ternyata hanya begini saja. Tempatnya terlalu kecil dan tidak banyak yang bisa kita lakukan. Selain snorkeling di sisi kiri kamar laut paling ujung, atau bermain di sekitar dermaga dengan memandang deretan rumah laut. Hanya itu satu-satunya view andalan di resort ini. Hanya itu.


































Mungkin pada saat kami menginap di sana kebetulan bertepatan dengan liburan akhir tahun, sehingga banyak pengunjung umum terus berdatangan dengan mengunakan perahu, dan diizinkan untuk naik ke pantai. Bayar atau tidak kami tidak jelas, tetapi keadaannya menjadi tak terkontrol, dengan kata lain mendadak menjadi ramai dan para pengunjung berbaur bersama dengan tamu resort. Sehingga yang mana adalah tamu resort dan yang mana adalah pengunjung sudah tidak bisa dibedakan lagi. Seketika itu juga dermaga menjadi becek dan penuh dengan pasir. Sangat disayangkan memang, bahwa sebuah tempat yang semula diperuntukkan untuk escape, tiba-tiba berubah menjadi pantai umum.





Dua teman baik saya setelah mendengar cerita saya ketika saya sudah kembali ke Jakarta, tetap tidak percaya. Mereka tetap penasaran dan memutuskan tetap merencanakan perjalanan pada bulan April lalu. Tetapi setelah mereka kembali dari sana, mereka sampaikan kepada saya "John, benar kata elo, biasa-biasa saja dan gak sebanding dengan perjalanan yang begitu jauh".

Jadi sebaiknya anda menanggalkan semua ekspektasi anda yang muluk-muluk sebelum anda memulai perjalanan ke sana. Juga jangan mendefinisikan arti kata resort sebagaimana semestinya. 


Desa Sawai
Jika kami tidak bermain ke Desa Sawai dan bukit Kelinanti, benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan atau apa yang bisa dilakukan di Ora. Paling tidak, kunjungan ke dua tempat ini mampu menambahkan sedikit warna-warni dalam perjalanan ini. Desa Sawai letaknya di sisi kanan Ora Eco Resort. Dengan menumpang perahu motor, kami hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk mencapai desa ini.
Desa kecil dengan mayoritas penduduknya beragama Islam ini adalah sebuah desa nelayan. Di desa ini juga berdiri homestay dengan tarif yang jauh lebih ekonomis. Banyak wisatawan memilih menginap di Sawai selain karena biayanya lebih murah, terkadang juga karena mereka tidak mendapatkan kamar di Ora Beach.



















Saat kami datang, kebetulan bertepatan dengan musim durian. Durian di Sawai rata-rata adalah durian matang pohon, bukan durian karbitan. Rasanya benar-benar enak, dagingnya tebal, manis tetapi membawa sedikit pahit, lengket, bijinya kecil dan beraroma mantap. Yang paling membuat kami merasa terkaget-kaget adalah harganya. Buah durian pertama yang kami makan isinya berwarna kuning seperti mentega. Setelah selesai makan kami baru sadar bahwa kami belum membayar, tetapi orang yang empunya durian sudah pergi. Seorang ibu yang rumahnya berada di depan lapangan mengatakan, orang itu berpesan bahwa dia ingin menghadiahkan durian itu untuk kami. Ini benar-benar kejutan.

Lalu kami meminta bantuan kepada ibu itu, untuk mencarikan lagi beberapa durian untuk kami. Ibu ini hanya berpesan kepada seorang bujang, tidak lama kemudian 6 buah durian sudah disuguhkan di hadapan kami. Tebak berapa harganya? Hanya Rp20.000. Bukan Rp20.000 per buah tetapi untuk 6 buah durian. Benar-benar murah bukan?






Desa Sawai bisa juga dicapai lewat darat dengan kendaraan langsung dari Masohi, tidak mutlak harus lewat Desa Saleman. Karena jika lewat Saleman harus berpindah lagi ke moda transportasi laut, sehingga biaya perjalanan mungkin lebih mahal.


Tebing Batu 
Tebing batu adalah salah satu spot yang berada di antara Ora dan Sawai. Namun kami 
memilih pergi ke Sawai dulu, dan dalam perjalanan pulang baru kami mampir di sana. Bagi saya pribadi, tebing batu seperti ini sangat umum, dan tidak terlalu spesial. Namun jika anda datang ketika air laut surut, airnya di bawah tebing ini memang dangkal sehingga kita bisa bermain-main air di tempat ini, sambil berenang atau snorkeling.




Air Belanda
Beranjak dari Tebing Batu, kami melanjutkan perjalanan menuju air Belanda. Ini (air belanda) hanyalah sebuah nama untuk mata air yang letaknya tidak jauh dari bibir pantai. Mata air ini mengalir lewat sebuah sungai yang dangkal, lalu bermuara ke laut dan pada akhirnya terjadi pertemuan 2 jenis sumber air, antara air laut yang asin dengan sumber mata air yang tawar. Inilah alam, penuh kerukunan, tanpa mempermasalahkan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan pada pertemuan semacam ini.
Lokasi Air Belanda ini berada di antara Ora Beach Eco Resort dan bukit Kelinanti. Persisnya berada di sisi kiri Ora Beach dan di sisi kanan bukit Kelinanti. Garis pantai yang berada di depan Air Belanda ini bisa dikatakan jauh lebih panjang dibandingkan pantai yang berada di Ora, dan sebenarnya kedua pantai ini menghadap sisi laut yang sama. Konon sudah didirikan sebuah guesthouse di tempat ini, namun sayang kami tidak memperhatikannya saat kami berada di sana.












Bukit Kelinanti
Jika datang ke Ora Beach tetapi tidak mampir ke Desa Sawai dan naik ke bukit Kelinanti rasanya seperti sayur tanpa garam, ada sesuatu yang kurang. Kecuali tujuan anda ke Ora memang hanya sekedar untuk menghidari hiruk pikuk kota besar, atau mungkin anda hanya ingin mencari suasana berduaan, tanpa mempersoalkan mutu pelayanan dan ketidaktersediaan fasilitas serta agenda lain di atas pantai, yang hanya selebar daun kelor itu.

Bukit Kelinanti letaknya berada di Kampung Baru, 200 meter dari Desa Saleman. Untuk naik ke atas bukit ini, jalur trekkingnya tidak terlalu sulit. Cukup dengan trekking sekitar 30 menit kami sudah tiba di atas bukit. Dari tempat ini memungkinkan kita untuk melihat Ora resort dan Desa Saleman dari kejauhan. Bukit ini terdiri dari formasi karang-karang yang tajam, hal ini langsung mengingatkan saya akan bukit Wayag yang kami manjat sewaktu berada di Raja Ampat. Ada kemiripan di antara keduanya dalam beberapa hal, terutama keindahan gradasi warna air lautnya, hanya sayang di sini tidak ada gugusan pulau seperti di Wayag. Meski keindahannya tidak sedahsyat bukit Wayag, namun secara keseluruhan pemandangan di atas bukit Kelinanti tetaplah sangat menakjubkan. Jadi jangan sampai anda melewatkan spot keren satu ini.






Untuk mencapai Kampung Baru, kami carter perahu dari Ora dengan membayar Rp200.000 untuk pulang pergi. Kapasitas perahu bisa muat hingga 8 orang, jadi anda bisa sharing cost jika anda pergi secara berkelompok. Jika anda menginap di Desa Saleman, anda cukup dengan berjalan kaki sekitar 200 meter, tidak perlu mencarter boat.
Begitu tiba di Kampung Baru, anda langsung mencari Pak Alwi. Beliau dengan senang hati akan menemani kita untuk naik ke atas karena menurut pengakuannya beliaulah yang membuka jalur trekking ini. Pada trip bulan Desember yang lalu, saya meminta Pak Alwi membawa serta pakaian adat khas Saleman berupa ikat kepala dan celana pendek berwarna merah tua. Jadi bagi anda yang ingin berfoto dengan pakaian adat khas Saleman, silakan menyampaikannya kepada Pak Alwi sebelum trekking menuju bukit dimulai. Setelah kembali dari bukit, kami memberikan tip kepada beliau Rp 100.000 sebagai tanda terima kasih. Tentu jumlah ini adalah kebijakan dari masing-masing tim, tidak ada satu ketentuan yang baku.










Sebelum kembali ke Ora, di kampung ini kami tidak lupa membeli lagi 5 buah durian. Ini adalah kali ke 3 kami memakan durian dalam 2 hari kunjungan. Benar-benar puas.









Setelah makan siang, kami kembali ke Desa Saleman, kemudian meneruskan perjalanan kami ke Masohi. Sesuai rencana setelah menginap semalam di Masohi, keesokan paginya kami akan melanjutkan perjalanan menuju Saparua.



End

Saparua Island - moluccas 2
http://johntravelonearth.blogspot.com/2015/07/saparua-island-moluccas-2.html

Hongtudi - Dongchuan Red land Of Yunnan
http://johntravelonearth.blogspot.com/2015/06/hongtudi-dongchuan-red-land-of-yunnan.html

Wae Rebo Village

Padar Island

Flores Overland

Komodo National Park - Part 1

Komodo National Park - Part 2

Avatar Mountain Part 1

Nusa Penida Island










2 comments:

  1. Keren.
    biarpun saya tdk ke Bukit Kelinanti, namun dgn membaca blog ini serasa saya ke sana dan experience myself

    ReplyDelete
  2. Keren.
    biarpun saya tdk ke Bukit Kelinanti, namun dgn membaca blog ini serasa saya ke sana dan experience myself

    ReplyDelete