Wednesday, August 13, 2014

Raja Ampat, An Archipelago of The Four Kingdoms ( Part 1 )



Kami mengawali petualangan ke Raja Ampat dengan sebuah ceritera rakyat setempat dan tentu ini hanyalah sebuah mitos bahkan menurut saya lebih tepat ini adalah sebuah dongeng sebelum tidur buat anak-anak. Konon dahulu kala ada seorang wanita tua hidup sebatang kara dan sangat miskin di tanah Papua. Suatu hari di sela-sela kesibukannya mencari kayu bakar di hutan, ia menemukan tujuh butir telur raksasa. Lalu 7 butir telur itu dibawanya pulang dan disimpan di dalam gubuknya. Meski hidupnya serba berkekurangan namun wanita tua ini tidak memakan telur-telur itu karena diyakininya di dalam setiap butir telur itu, ada kehidupan. Kebaikannya menyentuh hati Sang Penguasa Alam Semesta yang kemudian menyampaikan pesan-pesan lewat sebuah mimpi bahwa jika ia menjaga dan merawat telur-telur ini dengan baik dan merahasiakannya, telur-telur ini akan menetas bila waktu sudah tiba dan di antaranya ada 4 bayi laki-laki yang akan menjadi anaknya. Kelak keempat orang anak ini akan tumbuh menjadi raja dan masing-masing akan menguasai pulau-pulau besar di dalam kawasan itu yakni Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool. Inilah legenda kisah tentang nama Raja Ampat berasal.

Pesawat yang membawa rombongan kami tiba di Bandara Domine Eduard Osok pada pukul 12.10 ( waktu Indonesia timur ). Lamanya penerbangan dari Jakarta ke Makassar adalah sekitar 2 jam 20 menit, sedangkan dari Makassar menuju Sorong waktu tempuhnya tidak jauh berbeda yaitu 2 jam 10 menit. Perjalanan yang ditempuh dalam waktu 4 jam dan 30 menit ini mengalami 2 kali penyesuaian waktu, masing-masing 1 jam dan rasanya seperti jauh sekali. Tiba di Sorong saya agak kaget ketika melihat kondisi airport dengan mata kepala saya sendiri. Keadaannya tidak lebih layak jika dibandingkan dengan sebuah terminal bus. Kami dijemput oleh bapak Zakaria dari Dinas Kepariwisataan di Raja Ampat. Mampir di gerai KFC Sorong untuk makan siang dulu sebentar, kemudian langsung lanjut menuju pelabuhan dan perjalanan kami menuju Raja Ampat pun segera dimulai.
Waisai adalah ibu kota Kabupaten Raja Ampat, yang berada di selatan Pulau Waigeo dan sekaligus merupakan base camp kami selama berada di Raja Ampat. Kami tinggal di King Dolphin Cottage, yang dikelola oleh Pemda setempat dan keluarga Bupati. Kota waisai yang baru didirikan pada tahun 2005 ini relatif masih sepi bahkan lebih mirip sebuah desa. Penduduknya belum banyak, dan rumah juga masih jarang-jarang. Konon di awal pembentukannya, penduduknya harus diambil dari pulau-pulau kecil di sekitarnya. Baru belakangan ditambah dengan pendatang yang berasal dari Jawa, Ambon, Maluku dan Sulawesi. Di sini hanya berdiri Bank Papua dan BRI. Anda juga jangan pernah bertanya di mana letak supermarket dan rumah makan apalagi mall. Namun jika anda tanya soal landscape nya, wow.... Raja Ampat adalah tempatnya dan ini benar-benar rajanya di atas raja.

suasana pagi di pantai, tidak jauh dari cottage

menikmati damainya pagi hari di sebuah dermaga 

King Dolphin Cottage, Waisai

Kamar tidur, King Dolphin Cottage

Keindahan alamnya konon bisa disetarakan dengan keindahan di surga, agak berlebihan memang perumpamaan ini karena tentu tak seorangpun yang masih hidup sudah pernah ke surga. Namun begitulah kira-kira ungkapan hati orang-orang yang sedang larut dalam kegembiraan dan terkagum-kagum saat melihat keindahan alam di Raja Ampat. Ini benar-benar alam yang spektakuler dan dahsyat. Hati saya pun tidak berhenti bergelora dan jiwapun hanyut tatkala berada di tengah-tengah panorama " Surga Dunia " yang damai dan fantastik ini.





Gunung, bukit dan pantai seakan bisa menyapa. Permukaan air laut yang tenang, dan bening dengan gradasi warna biru tosca dan hijau merak menyerupai bingkai di sepanjang garis pantai, membuat kami merasakan seakan kami sedang berlayar di atas sebuah cermin raksasa. Pantulan bukit-bukit maupun awan-awan yang bergelantungan di langit semakin menambah suasana fantasi di sepanjang perjalanan, benar-benar takjub. Langitnya selalu biru dan udaranya bersih. Binatang-binatang laut pun seakan tidak tidak terusik oleh kehadiran kami di sana. Begitu pula dengan penduduk lokalnya, semua baik-baik. Sebaliknya yang banyak bertingkah justru para pendatang, tentu tidak semua. Ketika kami sedang berada di Tanjung Mayalibit, seorang wanita pendatang menyelutuk " pergi ke borobudur saja harus bayar, kok foto-foto di sini tidak pakai karcis ". Saya sebenarnya ingin sekali menyahut " hei bu, ini Tanah Papua. Kau tidak berhak ! ". Tetapi saya mengurungkan niat saya, biarkan sajalah.








( .........bersambung )

Part 2 :
http://johntravelonearth.blogspot.com/2014/08/raja-ampat-archipelago-of-four-kingdoms_13.html

   









2 comments:

  1. Nice article om John.
    saya pun ikut merasakan disana dengan membaca ulasan ini.

    ReplyDelete