Saturday, January 17, 2015

Wuyuan - The Most Beautiful Countryside (Part 1)



Melody yang diputarkan di dalam gerbong kereta api rute Guangzhou - Yingtan pagi itu, mirip irama klasik yang mudah ditemukan dalam drama-drama Korea. Suasana sepi mendadak terasa di dalam bilik tempat saya tidur akibat banyak penumpang yang sudah turun pada stasiun-stasiun sebelumnya. Yingtan merupakan kota tujuan terakhir dari rute ini dengan total waktu perjalanan sekitar 15 jam.


Saya duduk termenung sendirian di atas tempat tidur. Pemandangan di luar jendela terlihat samar-samar, kaca jendelanya berembun dan basah oleh rintik-rintik air hujan di penghujung musim semi tahun ini. Melody yang sentimentil seketika membangkitkan suasana hati yang tak lazim, ada semacam perasaan yang sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata. Lalu hanyut dan tenggelam ke dalam dasar samudera imajinasi yang paling dalam, seakan saya ini salah satu tokoh dari sebuah drama yang sedang didera oleh serentetan permasalahan yang pelik akibat sebuah pertengkaran hebat, pikiran kalut, galau dan berusaha kabur dari kenyataan dengan melakukan perjalanan jauh. Hmm... agak lebay memang, berlebihan imajinasinya tapi swear sungguh ini yang saya rasakan saat itu. Musim semi memang penuh romantika dan membuat manusia tenggelam di dalamnya.


Tidak berapa lama kemudian, kereta tiba di stasiun Yingtan, turun dari kereta saya langsung menuju terminal bus yang berada di depan stasiun. Dengan mudah saya berhasil menemukan satu mini bus yang melayani jurusan Yingtan-Wuyuan. Padahal dari hasil browsing semua sumber mengatakan bahwa untuk bus antar kota, penumpang harus terlebih dahulu menuju "Terminal Antar Kota". Saya pikir saya ini adalah orang yang sangat beruntung dan tidak perlu bersusah payah naik angkot lagi ke terminal. Namun ternyata informasi yang saya peroleh memang benar, mini bus yang saya tumpangi ini rupanya hanya menarik penumpang dari depan stasiun dan diserahkan ke pool di "Terminal Antar Kota". Setelah menunggu beberapa saat di ruang tunggu, bis penumpang menuju Wuyuan pun segera diberangkatkan.

Perjalanan dari Yingtan menuju Wuyuan memakan waktu sekitar 4 jam dengan tarif RMB 75, atau setara Rp 150.000. Ladang bunga Sawi atau Cole Flower yang bijinya diambil sebagai bahan baku minyak sayur ini mulai tampak pada desa-desa yang letaknya tidak jauh sebelum memasuki kota Wuyuan. Warnanya yang khas yaitu kuning cerah, dengan mudah sekali langsung tertangkap dari kejauhan oleh setiap mata yang melewati jalan antar kota itu.

Tiba di terminal bus Wuyuan, saya mengalami kesulitan untuk mencari kendaraan umum menuju Jiangling, sebuah desa yang telah saya kumpulkan informasinya lewat internet dan merupakan singgahan pertama yang saya rencanakan sebelumnya. Untuk kendaraan umum dari Wuyuan menuju desa-desa sekitarnya rupanya harus naik dari terminal dalam kota yang letaknya terpisah dari "Terminal Antar Kota" ini. Konon jumlah angkot yang melayani rute kota-desa juga tidak banyak. Untuk menghemat waktu akhirnya saya memutuskan untuk carter sebuah ojek sepeda motor selama saya berada di pedesaan.

Seorang tukang ojek menghampiri saya dengan sebuah peta di tangannya. Dia menjelaskan bahwa bagi turis untuk memasuki desa-desa itu, ada pungutan biaya yakni 60 Yuan per orang per desa atau 180 Yuan untuk beberapa desa yang berada di kawasan timur. Peraturan ini juga berlaku untuk memasuki desa-desa yang berada di jalur utara Wuyuan. Namun dia menambahkan bahwa jika saya mengunakan jasanya, tentu akan bebas dari pungutan-pungutan seperti itu. Wow ini ide yang bagus jika memang benar demikian, saya pikir. Namun alangkah kagetnya saya, saat tukang ojek ini membuka harga RMB 600 atau setara Rp 1.200.000 untuk 3 hari 2 malam, hari ke3 pun hanya setengah hari yakni menghantar saya kembali ke terminal.

Saya mencoba untuk tawar menawar namun ternyata dia pintar membaca situasi, bagaikan orang main kartu seluruh kartu saya sudah berada di tangannya. Dia tahu persis saya tidak akan bisa sampai ke tempat-tempat tujuan tanpa sebuah kendaraan. Dia berusaha menjelaskan panjang lebar bahwa medannya agak sulit dan jauh, terlebih dari timur menuju utara harus melintasi gunung, melewati jalan tanah berbatu, terjal dan sebagainya. Akan tetapi pemandangannya di sepanjang jalan sungguh menakjubkan dan dia menjamin bahwa saya tidak akan kecewa. Melalui berbagai pertimbangan akhirnya terpaksa saya mengambil penawaran itu karena benar-benar merasa tidak ada pilihan lain pada saat itu. Perjalanan masuk pedesaan pun segera dimulai meskipun leher saya serasa terjerat, ada perasaan tidak rela.

Di sepanjang perjalanan pemandangannya memang sangat luar biasa, begitu takjub, begitu mengagumkan. Meskipun membayar Rp 1.200.000 untuk sebuah ojek sepeda motor kedengarannya gila dan tidak masuk akal, namun setelah dijabarkan dari berbagai sisi dan melihat langsung keadaan di lapangan, rasanya 'worth it' juga, karena ternyata di sepanjang penjelajahan masuk gunung maupun desa, Xiao Jiang "nama tukang ojek " sangat memahami apa yang saya inginkan. Di mana pun saya ingin berhenti, baik untuk sebuah pemotretan maupun sekedar menikmati alam nan indah ini, dia mengikuti. Ditambah pengalamannya membawa tamu selama ini, dia ternyata banyak mengetahui di mana letak spot-spot yang indah, tanpa panduannya mungkin saya sendiri tidak akan menemukannya.








Suasana musim semi masih terasa kental dengan semerbak bunga-bunga Cole yang menutupi hampir setiap pelosok, bahkan seluruh muka bumi di pinggiran kota Wuyuan. Begitu indah, begitu puitis dan saya merasakan seakan saya sedang berenang-renang di dalam samudera berwarna kuning keemasan kala saya menyelinap masuk ke dalam ladang . Kondisi ini yang menjadi ciri khas desa-desa di Wuyuan dan membuatnya mulai dilirik sebagai destinasi pariwisata mancanegara. Oleh Lonely Planet, Wuyuan dijuluki sebagai " The Most Beautiful Countryside ". Hanya sayang waktu untuk berkunjungnya terlalu singkat, hanya berkisar seminggu hingga 10 hari saja yakni antara akhir Maret hingga awal April setiap tahunnya.
















No comments:

Post a Comment