Tuesday, November 3, 2015

XIAHE "A Little Tibet ", The Majestic Of Gansu Part - 2



Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, apalagi sengaja direncanakan dalam hidup ini bahwa saya akan "terjebak" di dalam sebuah gerbong kereta api selama 46 jam. Ini sudah pasti adalah sebuah perjalanan yang sangat membosankan. Tidak berdaya, panik, dan tidak tahu harus berbuat apa selain hanya bisa menerima sebuah keadaan yang telah terjadi, sembari menunggu sebuah kepastian yang tampaknya tidak pasti. Bayangkan hanya tinggal ditambah 2 jam lagi, sudah genap 2 hari 2 malam kami makan dan tidur di dalam kereta. Kesal memang, namun jika kita renungkan lebih jauh, kejadian ini sebenarnya sudah bagian dari resiko sebuah perjalanan. Tidak perlu terlalu kaget sebenarnya, apalagi mengeluh. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Simak kisah berikut ini.
Summer di China memang sangat panas. Di beberapa tempat suhu udaranya bahkan bisa menembus di atas 50 derajat Celsius. Benar-benar panas, angin yang berhembus dan mengenai wajah kadang terasa seperti membuka oven dan terkena hawa panasnya, terutama di bagian Barat dan Barat laut China. Pada awal bulan Agustus lalu suhu berada pada puncak titik tertinggi selama musim panas ini. Bahkan di Turpan, masyarakat di sana merebus telur dengan hanya meletakannya di atas tanah, dan tak lama kemudian ternyata matang. Suhu udara di luar gerbong sangat-sangat panas dan kering. Beruntung kami mendapatkan gerbong hard sleeper, yang ber-AC sehingga kami tidak sampai kepanasan, meskipun demikian tetap saja berasa gerah karena selama 2 hari tidak bisa mandi.





Dalam kondisi yang bisa dikategorikan kurang beruntung ini, sebenarnya saya masih tetap bisa bersyukur, bahwa untung kali ini saya tidak melakukan perjalanan seorang diri. Pada eksplorasi kali ini saya membawa 3 orang teman dari Jakarta, sehingga paling tidak saya masih punya teman sebangsa, senasib sepenanggungan yang bisa berbagi keceriaan di tengah kesulitan.













Meskipun demikian, hal yang paling saya khawatirkan saat itu adalah jadwal bus terakhir dari Lanzhou menuju Xiahe pada pukul 14.00 tidak mungkin bisa diubah. Sedangkan kereta, yang kami tumpangi dari Guangzhou masih tertahan di sekitar Louyang, akibat banjir yang melanda pinggiran Xian. Musibah ini membuat beberapa rel terendam, dan konon ada beberapa gerbong kereta api jurusan lain mengalami kecelakaan, dan beberapa gerbongnya lari keluar dari rel. Musibah ini sebenarnya sudah terjadi sejak 10 jam yang lalu, namun karena kejadiannya di malam hari kami semua sudah tertidur lelap, sehingga kebanyakan penumpang tidak sadar akan hal ini.

Dalam keadaan yang serba tidak pasti ini, Mr. Tsering dari Tara Guesthouse di Xiahe terus menelepon dan menanyakan tentang kepastian kedatangan kami. Karena jika kami berubah rencana, 2 kamar yang telah dipesan oleh kami sebelumnya, akan segera diberikan kepada tamu lain. Saya benar-benar dalam posisi yang sulit untuk menjawab, namun apapun kondisinya saya tetap harus memberikan sebuah jawaban yang memuaskan, karena ini menyangkut sebuah tanggung-jawab. Akhirnya saya menelepon balik dan mengatakan kepadanya bahwa kami akan carter mobil malam itu juga, setelah memperoleh konfirmasi dari pihak kereta api bahwa kereta segera diberangkatkan lagi, dan diperkirakan akan tiba di Lanzhou sekitar pukul 18.00 sore.





Tiba di stasiun Lanzhou, keadaannya sangat ramai. Mungkin ini sebagai akibat dari musibah banjir itu, dan menimbulkan dampak domino pada keterlambatan kereta-kereta yang lain. Untuk tempat yang masih asing dan ramai seperti ini saya selalu membiasakan diri untuk mencari restoran di sekitar stasiun, duduk, makan, menenangkan diri sambil mengamati keadaan di sekitarnya. Jangan pernah langsung menghampiri kendaraan yang telah parkir, menunggu dan saling berebut penumpang di depan stasiun, kecuali anda sudah sangat mengenal kota itu.
Saya lalu mengajak teman-teman saya berjalan ke sebelah kiri untuk menghindari keramaian, kemudian memasuki sebuah restoran muslim. Setelah memesan makan dan beristirahat sejenak, tampaknya pemilik restoran orangnya baik dan jujur. Saya langsung membuka pembicaraan dan menyinggung tentang rencana kami untuk melanjutkan perjalanan ke Xiahe, apakah beliau bisa merekomendasikan seorang driver yang bisa diandalkan. Mengetahui bahwa 3 orang teman saya adalah muslim, beliau sangat senang dan segera membantu kami mencarikan driver kenalannya.



Singkat cerita, tidak lama setelah kami selesai makan, driver kenalannya itu datang. Beliau seorang chinese muslim dari suku Hui. Belaiu sudah agak berumur tetapi tidak masalah karena perjalanan ini pada malam hari, ke tempat yang saya sama sekali buta pula. Jadi faktor keamanan tetap menjadi pertimbangan utama, mungkin perjalanan akan sedikit lebih lama tetapi paling tidak, kami sudah bisa memegang sedikit jaminan dari pemilik restoran tentang asal usul driver ini.
Kami meninggalkan Lanzhou, sekitar pukul 19.00. Langit belum terlalu gelap namun kami sama sekali tidak ada waktu untuk melihat-lihat kota ini, karena tidak lama setelah meninggalkan stasiun, mobil kami langsung membelok masuk ke dalam highway.

Dua jam pertama perjalanan terasa baik-baik saja, kami masih asik saja ngobrol dan bersyukur bahwa kami sudah dalam perjalananan menuju tujuan kami yang pertama. Akan tetapi setelah 3 jam berlalu tetap saja belum tampak adanya tanda-tanda atau petunjuk jalan yang mengarah ke Xiahe, padahal menurut perkiraan waktu jarak antara Lanzhou dan Xiahe umumnya dapat ditempuh dalam waktu 3 jam. Namun saat itu saya benar-benar mengalami kesulitan besar untuk berkomunikasi dengan pak tua ini, karena aksen bahasa daerahnya sangat dominan, dan saya tidak terlalu mengerti apa yang beliau sedang bicarakan sebenarnya.
Keadaan menjadi semakin tegang ketika driver tua ini tiba-tiba keluar dari jalan tol dan mengambil jalan pintas. Jalanannya agak rusak dan gelap. Tidak kelihatan ada pemukiman ataupun lampu di sepanjang jalan. Teman saya Nia sudah ketakutan, namun saya berusaha meyakinkannya bahwa tidak akan terjadi apa-apa dan tidak perlu khawatir. Kenapa? Karena analisa saya cukup beralasan, saya bilang begini bahwa bapak ini kelihatannya adalah seorang muslim sejati, lihat di tengah perjalanan saja beliau menghentikan mobil di tepi jalan tol dan melakukan sholat di situ, bagaimana mungkin orang yang taat seperti beliau, mempunyai niat jahat untuk mencelakakan kami. Akhirnya kami benar-benar pasrah dan serahkan saja kepada driver tua ini.

Setelah sekitar 1 jam kami bergumul di dalam kegelapan, akhirnya saya melihat sebuah gerbang bertuliskan Xiahe di kejauhan. Seketika itu juga saya merasa lega, dan saya segera menghubungi Mr Tsering dari Tara Guesthouse untuk memandu kami menuju penginapannya.

Tiba di depan Tara Guesthouse waktu menunjukkan pukul 23.38 menit, dan suhu udara di Xiahe malam itu membuat sekujur tubuh saya langsung mengigil. Ternyata informasi yang saya peroleh tidak bohong bahwa summer di Xiahe, suhu udaranya di malam hari masih sangat dingin. Untung di kamar sudah terpasang alat pemanas ruangan, sehingga malam itu kami dapat tidur dengan baik.

Bangun pagi suhu udara sekitar 5 derajat celcius. Langit mendung dan hujan gerimis. Namun keadaan di luar sudah mulai ramai. Tara Guesthouse tempat kami menginap sangat strategis, letaknya berada persis di jalan utama di depan Labrang Monastery, dan entah benar atau tidak, bahwa guesthouse ini masih ada kaitan erat dengan kepemimpinan para Lama (bhikkhu). Jadi bukan milik perorangan.



Mendengar kata LAMA (bhikkhu), anda pasti langsung teringat dengan Tibet, dan memang benar bahwa Xiahe ini berkaitan erat dengan Tibet, dan orang-orang menyebutnya A Little Tibet. Mengapa? Karena satu kabupaten Xiahe ini penduduknya hampir seluruhnya adalah suku Tibetan. Mulai dari budayanya, keagamaannya, dan tata kerama serta seluruh sendi kehidupan orang Xiahe hampir tidak ada perbedaan dengan Tibet. Bahkan ada sumber yang mengatakan bahwa sendi-sendi keagamaan Buddhisme aliran Tibet di Xiahe lebih autentik jika dibandingkan dengan Tibet sendiri. Selain itu perlu dicatat bahwa Xiahe termasuk bagian dari Gannan Tibetan Autonomous Prefecture yang berada di propinsi Gansu.























Labrang Monastery
Meski dijuluki A Little Tibet, tentu anda jangan berharap bisa menemukan bangunan seperti Potala di sini. Namun anda juga tidak perlu terlalu pesimis karena bangunan Labrang Monastery cukup representatif dan mampu mengangkat suasana Tibetan yang khas layaknya di Tibet.

Kompleks monastery ini sangat luas. Sebenarnya diberlakukan tiket masuk, namun tanpa tiket masuk pun, kami ternyata bisa menjelajahi seluruh wilayah monastery. Beberapa turis lokal yang sudah membeli tiket merasa bingung dan mempertanyakan apa makna dari pemberlakuan tiket masuk itu, karena semua pengunjung dengan tiket atau tanpa tiket, bebas keluar masuk dan berjalan di kompleks monastery itu.















































Jika anda kemari, jangan lupa naik ke bukit di belakang monastery, maupun bukit di seberang monastery, supaya melihat pemandangan kompleks monastery secara keseluruhan. Lihat foto-foto berikut ini.











Secara keseluruhan, viewnya sangat mantap dan bagi anda yang memiliki kendala dengan masalah ketinggian atau high altitude, namun ingin sekali merasakan suasana kehidupan Tibetan, saya sangat merekomendasikan anda datang ke tempat ini. Selain tidak perlu berhadapan dengan resiko high altitude, juga tidak perlu Tibet Permit.
Di pinggiran kota Xiahe masih terdapat beberapa tempat yang sangat layak untuk dikunjungi, di antaranya Ganjia yang sudah saya ulas pada tulisan sebelumnya (baca : http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2015/11/ganjia-grasslands-majestic-of-gansu.html), juga Sangke dan beberapa kota lainnya yang seluruhnya masih berada di dalam kabupaten yang sama.

Mengenai makanan, di seberang Tara Guesthouse maupun di depan Labrang Monastery, ada restoran muslim. Jadi bagi anda yang muslim tidak perlu khawatir soal makanan halal. Namun jika anda ingin menjelajahi pinggiran kota Xiahe sebaiknya anda membawa bekal, karena sulit menemukan makanan halal. Pada perjalanan ke Ganjia kami membawa bekal berupa macam-macam penganan atau roti khas Tibetan. Rasanya lumayan enak karena ada campuran daun bawang dan keju.




Target kami berikutnya adalah DanXia, rainbow mountain. Spot fenomenal ini, berada di propinsi Gansu juga, tepatnya di kota Zhangye. Tiket kereta express menuju Zhangye sudah di tangan kami. Pagi itu, dari Xiahe kami naik bus yang paling pagi untuk kembali ke Lanzhou. 


Catatan Tambahan:
Untuk menuju Lanzhou sebaiknya naik kereta api dari Xian karena lebih dekat. Alasan kedua tentu karena ada pesawat budget yang melayani rute Jakarta-Xian, sehingga membuat perjalanan menjadi lebih hemat dan mudah.

Tiba di  stasiun Lanzhou , naik bus menuju terminal antar kota " The South Bus Station" , dari terminal ini naik bus menuju Xiahe dengan tarif 75Yuan per orang. Jadwal keberangkatan sehari 4 kali yaitu pukul 7.30, 8.30, 9.30 dan 14.00.


Jika carter mobil sekitar 700 Yuan.




End

Ganjia Grasslands, The Majestic Of Gansu Part-1
http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2015/11/ganjia-grasslands-majestic-of-gansu.html

Danxia "Rainbow Mountain", The Majestic Of Gansu Part-3
http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2015/11/danxia-rainbow-mountain-majestic-of.html

Southwest Sumba & Treasure Part - 1

Southwest Sumba & Treasure Part - 2

Musim Gugur Di Nusa Penida

West Sumba - Nature & Culture

East Sumba - Land Of A Thousand Savannahs - Part 1




No comments:

Post a Comment