Populasi Suku Miao yang berada di propinsi Hunan konon merupakan konsentrasi Suku Miao terbesar di China. Selain mereka yang menetap di Fenghuang, masih terdapat puluhan Suku Miao pedalaman, dengan budaya Miao yang masih sangat kental dalam keseharian mereka. Namun hanya 7 desa yang bersedia menerima kunjungan dari luar. Dan mereka kebanyakan masih buta huruf dan tidak bisa berbahasa Mandarin.
Orang dari suku Miao yang menetap di kota tua Fenghuang rata-rata sudah terpengaruh oleh kehidupan modern dan sudah beradaptasi. Jika mereka tidak berpakaian adat suku Miao, sebagaimana yang mereka pakai pada saat upacara adat atau hari raya suku ini, orang dari suku Miao sekilas hampir tidak ada perbedaan dengan suku Han pada umumnya. Mungkin di intern mereka, mereka saling mengenali dan bisa membedakan satu sama lain, terutama dari segi tutur katanya maupun dialeknya. Tetapi bagi kita orang yang berasal dari luar, tentu sangat sulit bagi kita untuk membedakannya.
| ||||||||||||||||
Saya tetap merasa penasaran dan akan sangat menyesal jika tidak menjelajahi hingga ke kantong-kantong pedalaman Miao yang letaknya sekitar 20km dari Fenghuang. Dan saya memanfaatkan kesempatan ini untuk mengeksplor sebuah desa pedalaman suku Miao, yang bernama Miao Zhai. Saya ingin melihat dari jarak dekat kehidupan asli suku minoritas ini. Untuk memasuki desa Miao di pedalaman, kita harus mematuhi 3 persyaratan berikut ;
| ||||||||||||||||
Bagi anda pencinta film silat produksi Hongkong, mungkin anda masih ingat film layar lebar " Dong Fang Bu Bai " ( baca: Tong Fang Pu Pai). Ataupun film seri yang berjudul "Xiao Ao Jiang Hu". Ke dua film ini, diambil dari buku silat terkenal dengan judul yang sama yaitu Xiao Ao Jiang Hu. Figur antagonis di dalam film ini, yang sangat jahat dan tangguh itu, yang nekad mempelajari ilmu "Hui Hua Bao Dian" hingga pada tingkatan akhirnya ia mentransformasi menjadi seorang wanita. Figur ini penuh dengan misterius dan kejam, dikisahkan berasal dari suku Miao. | ||||||||||||||||
Namun seorang figur perempuan muda bernama Ying Ying yang sangat cantik jelita, dengan kemahirannya dalam meniupkan seruling, dia juga berasal dari suku Miao. Dan setiap kali dia mulai meniupkan seruling, dia mampu memanggil semua ular berbisa keluar dari sarang, menyerang dan mematikan lawan-lawannya. | ||||||||||||||||
Saya sangat terpesona dengan cerita silat ini, sampai-sampai saya mengoleksi buku karangan aslinya, total 4 buah buku tebal. Dan sampai hari ini saya masih belum tuntas membacanya karena serian buku silat ini ditulis dalam bahasa mandarin dengan gaya sastra dan istilah-istilah silat kuno yang tidak mudah saya pahami. | ||||||||||||||||
Pada eksplorasi kali ini, adakah kemungkinan saya bisa menemukan Ying Ying yang lain, yang juga mahir meniupkan seruling pada kehidupan nyata, seperti figur yang dikisahkan dalam buku silat ini? Mungkinkah ? | ||||||||||||||||
Pagi itu saya bergabung dengan rombongan orang lokal yang akan melakukan perjalanan singkat ke desa Miaozhai. Ini hanya day trip, dan kami akan kembali pada sore harinya dan tetap bermalam di Fenghuang. | ||||||||||||||||
Perjalanan dengan bus memakan waktu sekitar 2 jam. Tiba di Desa Miaozhai suasananya sunyi senyap. Tidak banyak terlihat warga setempat yang sedang beraktifitas. Sekilas lihat, Miaozhai seperti desa yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya. Agak kecewa sebenarnya, karena ternyata tidak banyak sisi kehidupan dan budaya tua, yang bisa saya lihat pada perjalanan kali ini.
| ||||||||||||||||
Rupanya, kebanyakan generasi muda dari desa ini sudah meninggalkan desa mereka, merantau dan bekerja di kota, tetapi sebenarnya masih banyak orang tua yang merasa lebih betah dan memilih untuk tetap berada di kampung halaman mereka sendiri. Mereka bertani dan bekerja di ladang pada siang hari, sehingga rumah-rumah mereka, tampak kosong seperti tak berpenghuni. | ||||||||||||||||
Rumah di desa ini sangat sederhana dan hampir semuanya terbuat dari batu alam. Jika kita perhatikan, ada sisi uniknya. Karena konstruksinya tampak sangat tidak lazim dengan cara menumpuk dan menyusun batu-batu alam sedemikian rupa, tanpa menggunakan bahan perekat seperti semen. Dan entah apa yang menjadi tumpuan kekuatan untuk sebuah bangunan seperti ini. Sayang saya memang bukan seorang arsitek sehingga hal ini tidak mendapatkan porsi untuk dipelajari lebih lanjut.
| ||||||||||||||||
Namun ada satu hal yang pasti, yaitu saya menyempatkan diri untuk makan siang di salah satu rumah warga, yang memang membuka usaha untuk memenuhi kebutuhan makan siang para pengunjung yang datang ke desa ini. Makanannya khas dan sangat sederhana, namun justru terasa sangat spesial di tengah desa, yang begitu terpencil seperti ini. Oh ya, minumannya berupa arak yang dituang di dalam potongan bambu. Sangat sepesial bukan? | ||||||||||||||||
Di saat makan siang, pemilik rumah bercerita kepada rombongan bahwa di desa mereka salah satu patokan dalam memilih calon menantu adalah pria berkacamata. Mereka suka pria berkacamata. Menurut logika mereka, pria berkacamata itu sudah pasti pendidikannya tinggi dan pinter. Seketika semua mata langsung tertuju pada saya sambil tersipu-sipu, sontak saya sedikit salah tingkah, dan mengapa pula seakan saya yang sedang dibicarakan, apakah karena saya memakai kacamata. | ||||||||||||||||
Tetapi mungkin juga hanya perasaan saya sendiri saja yang GR. Begitulah kalau orang yang suka bertualang kadang memang suka lupa akan umurnya sendiri dan selalu merasa masih muda. Ah mereka ini juga berlebihan, hanya membuat saya senang saja dan merasa awet muda. Tetapi ini memang benar, dan sungguh bahwa prinsip ini mereka gunakan sebagai nalar mereka, yang terlahir dari sebuah kepolosan dalam berpikir dan kesederhanaan. Anda ingin beristrikan seorang perempuan suku Miao seperti cover model pada tulisan ini? Pakailah kacamata seperti seorang kutu buku saat berkunjung ke sana.
| ||||||||||||||||
Setelah makan siang, saya mencoba untuk berkeliling desa ini dengan menyusuri gang-gang yang kecil. Tetapi kita perlu tetap waspada saat berada di desa ini karena beberapa warga memelihara anjing dan diikat di dekat pintu. Tentu akan sangat fatal jika sampai digigit. Dan sebagai penutup perjalanan kami ke desa ini, rombongan kami mampir ke sebuah air terjun yang letaknya tidak jauh dari desa ini, sebelum akhirnya kami meninggalkan Miaozhai dan melanjutkan perjalanan kembali ke Fenghuang.
| ||||||||||||||||
Tiba di Fenghuang, sudah magrib. Kota tua ini sudah berubah wajahnya menjadi kota yang gemerlap. Ini malam ke-2 saya di Fenghuang, sekaligus malam terakhir. | ||||||||||||||||
End. Feng Huang, Hunan Part-1 http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2016/02/feng-huang-hunan-part-1.html
Feng Huang, Hunan Part-2
|
Travel On Earth
Monday, February 15, 2016
Miao Zhai Village, Hunan China.
Monday, February 8, 2016
Feng Huang, Hunan Part-2
Menjelang mahgrib, Fenghuang ini berubah total. Dalam sekejab, tempat ini telah bertransformasi dari kota tua yang berusia ribuan tahun, menjadi, kota yang gemerlap dengan lampu-lampu neon berwarna-warni, yang menghiasi setiap bangunan yang berada di bantaran sungai.
Ini tentu wujud dari kreatifitas. Sebuah tarik wisata yang dikemas sedemikian rupa, sehingga wisatawan yang datang dan bermalam di kota tua ini tidak perlu khawatir akan hal yang membosankan di malam hari, suasana yang gelap, sepi dan kemungkinan-kemungkinan bahwa ketika hari gelap wisatawan hanya bisa berdiam di dalam kamar. | ||||||||||||||||
Memang benar sih, bahwa estetika kota tuanya tiba-tiba lenyap, seakan sudah tenggelam dan tertelan oleh sebuah sentuhan modernisasi. Namun ini justru adalah sebuah atraksi, sekaligus jawaban untuk menarik gelombang manusia gadget para era baru ini, agar mereka bisa tetap eksis, dan tetap mau berada di kota tua yang sudah berusia ribuan tahun ini, meskipun pada malam hari. Dan perpaduan instrumen-instrumen modern ini sekaligus menepis ketakutan sebagian orang untuk berjalan di gang-gang yang sempit dan gelap serta bangunan tua yang terkesan angker. | ||||||||||||||||
Banyak bangunan yang letaknya berada di bantaran sungai, pada malam hari disulap menjadi café dan club. Suara house music yang kebarat-baratan ini distel dengan suara sangat keras di hampir semua gerai tempat minum. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan predikat yang disandangnya yaitu Kota Tua ribuan tahun peninggalan Dinasti Qing. Di samping itu juga terkesan sangat komersial.
| ||||||||||||||||
Tetapi ya itulah yang disebut perubahan zaman. Mungkin jika kota tua ini disetting persis seperti pada zamannya sebagaimana 1.300 tahun yang lalu. Dan musiknya adalah suara petikan kecapi dan alat musik kuno lainnya. Bisa dipastikan orang yang datang mungkin hanya mereka yang sudah berusia lanjut, dengan kata lain para manula angkatan kakek dan nenek. | ||||||||||||||||
Meskipun demikian, jejak-jejak kehidupan pada masa lalu masih bisa ditemukan di tepi sungai Tuojiang ini. Terlihat banyak kaum hawa sedang melepas lampion berbentuk bunga teratai di atas Sungai Tuojiang sambil berdoa sejenak di dalam hati. Ini adalah keyakinan mereka bahwa dengan mengirimkan doa lewat bunga lampion ini, harapan mereka akan terkabul.
| ||||||||||||||||
Momen seperti ini mungkin tidak jauh berbeda dengan ribuan tahun yang lalu. Yang membuat berbeda mungkin hanya, kita tidak lagi melihat wujud perempuan yang berpakaian seperti yang tampil di dalam film kekaisaran China dengan gaun berlengan panjang, serta model rambut yang rumit lengkap dengan aksesorisnya. | ||||||||||||||||
Keadaan di dalam benteng tidak kalah ramai jika dibandingkan dengan suasana di tepi sungai. Banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangan mereka di pinggir jalan, mirip pasar malam. Juga banyak restoran dan café yang buka hingga larut malam.
| ||||||||||||||||
Tentu bagi anda pencinta fotografi, suasana malam di Fenghuang adalah surga dan sebuah obyek yang sangat kaya inspirasi. Karena selain obyek bangunan tua, human interest, permukaan air sungai Tuojiang sangat tenang dan selalu menampilkan sebuah pantulan yang sangat indah. | ||||||||||||||||
Saya berada di kota tua ini selama 2 malam, dan rasanya cukup. Karena kota ini sebenarnya kecil hanya suasananya dikemas sedemikian rupa, sehingga tidak terasa bosan. Dan ternyata saya mengulangi gang-gang yang sama, jalan yang sama, jembatan yang sama, dan bantaran sungai yang sama, baik pada malam pertama waktu saya tiba, maupun pada malam yang ke-2.
keindahan Rainbow Bridge di malam hari
| ||||||||||||||||
Di hari ke-2 saya mencoba mengikuti rombongan lokal untuk mengeksplor desa Suku Miao pedalaman yang lebih dikenal dengan sebutan MiaoZhai. Dan pada hari ke-3 pagi saya meninggalkan kota tua ini untuk kembali ke stasiun Zhangjiajie, dengan naik bus dari Chengbei Bus Station. Tarif bus adalah 72 Yuan per penumpang. End. Feng Huang, Hunan China Part-1 http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2016/02/feng-huang-hunan-part-1.html Tumpak Sewu, Lumajang Part-2 http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2016/02/tumpak-sewu-lumajang-part-2.html
|
Subscribe to:
Posts (Atom)